Kamis, September 29, 2011

FeTRAM: Teknologi Memori Komputer yang Menjanjikan

Teknologi FeTRAM memenuhi tiga fungsi dasar dari memori komputer: untuk menulis informasi, membaca informasi dan tahan dalam jangka waktu yang panjang.
Para peneliti tengah mengembangkan sebuah jenis baru memori komputer yang bisa lebih cepat daripada memori komersial yang ada saat ini dan penggunaan listrik yang jauh lebih sedikit dari perangkat memori flash.
Teknologi ini mengkombinasikan kawat nano silikon dengan polimer “feroelektrik”, bahan yang mengaktifkan polaritas ketika medan listrik dialirkan, memungkinkan tipe baru dari transistor feroelektrik.
“Ini dalam tahap yang masih sangat baru,” kata mahasiswa doktoral Saptarshi Das, yang bekerja sama dengan Joerg Appenzeller, seorang profesor teknik elektro dan komputer dan direktur ilmiah nanoelektrik di Pusat Nanoteknologi Purdue Birck.

Diagram ini menunjukkan tata letak jenis baru memori komputer yang bisa lebih cepat daripada memori komersial yang ada saat dan penggunaan daya listrik yang jauh lebih sedikit dari perangkat memori flash. (Kredit: Pusat Nanoteknologi Birck, Universitas Purdue)

Transistor feroelektrik yang mengubah polaritas dibaca sebagai 0 atau 1, operasi yang diperlukan bagi sirkuit digital untuk menyimpan informasi dalam kode biner yang terdiri dari urutan satu dan nol. Teknologi baru ini disebut FeTRAM, untuk memori transistor feroelektrik akses acak.
“Kami telah mengembangkan teori serta melakukan eksperimen dan juga menunjukkan cara kerjanya dalam sebuah sirkuit,” katanya. Temuan yang rinci dalam makalah penelitian ini muncul dalam Nano Letters, dipublikasikan oleh American Chemical Society.
Teknologi FeTRAM memiliki penyimpanan non-volatile, artinya ini tetap berada di dalam memori meski komputer sudah dimatikan. Perangkatnya bisa berpotensi menggunakan energi 99 persen lebih rendah dari memori flash, chip penyimpanan komputer non-volatile dan bentuk dominan memori di pasar komersial.
“Namun, perangkat kami sekarang ini masih mengkonsumsi daya lebih banyak karena skalanya masih kurang tepat,” kata Das. “Untuk teknologi FeTRAM generasi masa depan, salah satu tujuan utamanya adalah mengurangi disipasi daya listrknya. Mungkin juga akan jauh lebih cepat daripada bentuk lain memori komputer yang disebut SRAM.”
Teknologi FeTRAM memenuhi tiga fungsi dasar dari memori komputer: untuk menulis informasi, membaca informasi dan tahan dalam jangka waktu yang panjang.
“Anda ingin menyimpan memori selama mungkin, 10 hingga 20 tahun, dan Anda harus mampu membaca dan menulis sebanyak mungkin,” kata Das. “Ini juga harus berdaya listrik rendah agar laptop Anda tidak menjadi terlalu panas. Dan ini perlu diskala, artinya Anda bisa mengemas banyak perangkat ke area yang sangat kecil. Penggunaan kawat nano silikon bersama dengan polimer feroelektrik ini telah termotivasi oleh persyaratan-persyaratan tersebut.”
Teknologi baru ini juga kompatibel dengan proses industri manufaktur untuk semikonduktor oksida logam komplementer, atau CMOS, yang digunakan untuk memproduksi chip komputer. Ini memiliki potensi untuk menggantikan sistem memori konvensional.
Sebuah aplikasi paten telah diajukan untuk konsepnya.
FeTRAM mirip dengan memori akses acak feroelektrik, FeRAM, yang sedang digunakan secara komersial namun pasar semikonduktornya masih relatif kecil secara keseluruhan. Keduanya menggunakan bahan feroelektrik untuk menyimpan informasi secara non-volatile, namun tidak seperti FeRAM, teknologi baru ini memungkinkan pembacaan yang tidak destruktif, artinya informasi dapat dibaca tanpa menghilangkannya
Pembacaan non-destruktif ini dimungkinkan dengan menyimpan informasi  menggunakan transistor feroelektrik, bukan kapasitor, yang digunakan dalam FeRAM konvensional.
Pekerjaan ini didukung oleh Research Initiative Nanoteknologi (NRI) melalui Network for Computational Nanotechnology (NCN) Purdue, yang didukung oleh National Science Foundation.

Jurnal: Saptarshi Das, Joerg Appenzeller. FETRAM. An Organic Ferroelectric Material Based Novel Random Access Memory Cell. Nano Letters, 2011; 11 (9): 4003 DOI: 10.1021/nl2023993

Air Asin dan Gas yang Terhisap ke dalam Interior Bumi Mengungkap Evolusi Planet

"Temuan kami ini mempertanyakan kembali kesimpulan terakhir yang tidak pasti bahwa gas di seluruh bumi semata-mata dihantarkan oleh meteorit yang menabrak planet ini."
Sebuah tim ilmuwan internasional telah memberi wawasan baru tentang proses di balik evolusi planet dengan menunjukkan bagaimana air asin dan gas berpindah dari atmosfer ke dalam interior bumi.
Makalah studi ini dipublikasikan dalam Nature Geoscience pada 26 September.
Para ilmuwan telah lama berdebat tentang bagaimana bumi berevolusi dari keadaan primitif yang tertutup oleh lautan batuan cair, menjadi planet seperti yang kita tinggali saat ini dengan kerak padat yang terbuat dari lempeng tektonik yang bergerak, lautan dan atmosfer.
Penulis utama makalah, Dr. Mark Kendrick dari Ilmu Bumi Universitas Melbourne, mengatakan bahwa gas yang terperangkap di dalam interior bumi memberi petunjuk penting mengenai proses yang bertanggung jawab atas kelahiran planet kita dan evolusi berikutnya dari lautan dan atmosfernya.
“Temuan kami ini mempertanyakan kembali kesimpulan terakhir yang tidak pasti bahwa gas di seluruh bumi semata-mata dihantarkan oleh meteorit yang menabrak planet ini,” katanya.
Penelitian menunjukkan bahwa gas atmosfer tercampur ke dalam mantel, di dalam interior bumi, selama proses yang disebut ‘subduksi’, ketika lempeng tektonik bertabrakan dan menenggelamkan bagian bawah gunung berapi di zona subduksi.
“Temuan ini penting karena sebelumnya diyakini bahwa gas lembam di dalam bumi memiliki asal-usul primordial dan terjebak selama pembentukan tata surya,” kata Dr Kendrick.
Karena komposisi neon di dalam mantel bumi sangat mirip dengan yang ada di dalam meteorit, maka digagas oleh para ilmuwan bahwa sebagian besar gas bumi disampaikan oleh meteorit selama pembombardiran akhir yang juga menghasilkan kawah di bulan.
“Studi kami menunjukkan sejarah yang lebih kompleks di mana gas juga dilarutkan ke dalam bumi selagi masih tertutup oleh lapisan cair, selama kelahiran tata surya,” katanya.
Sebelumnya diasumsikan bahwa gas tidak tenggelam bersama lempengan di dalam zona subduksi tektonik, melainkan lolos selama letusan gunung berapi.
“Studi baru menunjukkan bahwa hal ini tidak sepenuhnya benar dan gas yang dilepaskan dari interior bumi tidak meninggalkan tanda-tanda bekas pembentukan tata surya.”
Untuk melakukan studi ini, para peneliti mengumpulkan bebatuan serpentinite dari sabuk gunung di Italia dan Spanyol. Batu-batu ini awalnya terbentuk di dasar laut dan sebagian tersubduksi ke dalam interior bumi sebelum mereka terangkat ke posisi mereka saat ini akibat tabrakan lempeng Eropa dan Afrika.
“Batu-batu serpentinite adalah istimewa karena mereka menjebak sejumlah besar air laut di dalam struktur kristalnya dan dapat diangkut ke kedalaman mantel bumi oleh subduksi,” katanya.
Dengan menganalisis gas lembam dan halogen yang terperangkap dalam bebatuan tersebut, tim riset mampu menunjukkan gas yang terhapus secara tidak lengkap oleh transformasi mineral yang mempengaruhi serpentinites selama proses subduksi dan dengan demikian memberikan wawasan baru tentang peran gas-gas terperangkap ini dalam evolusi planet.
Penelitian ini bekerja sama dengan para peneliti dari Universitas Nasional Australia, Canberra dan Universitas Genoa, Italia.

Kredit: Universitas Melbourne
Jurnal: Mark A. Kendrick, Marco Scambelluri, Masahiko Honda, David Phillips. High abundances of noble gas and chlorine delivered to the mantle by serpentinite subduction. Nature Geoscience, 2011; DOI: 10.1038/ngeo1270

Sumber Lithium terbesar di dunia, Salar de Uyuni

Dataran garam Salar de Uyuni di Bolivia, mencakup lebih dari 10 ribu km persegi, adalah yang paling luas di dunia, dan begitu datar sehingga permukaannya dipakai untuk mengkalibrasi altimeter di satelit. Pada hari yang tenang, lapisan tipis air menutupi garam membentuk cermin besar yang memantulkan langit.
Masyarakat desa Colchani menumpuk garam-garam dalam bentuk piramida sebagai sumber mata pencaharian. Namun dibawah kecemerlangan ini adalah garam yang kaya lithium dengan potensi komersial besar. Menurut laporan terbaru IS Geological Survey, Salar de Uyuni mengandung 9 juta ton litium, lebih dari seperempat sumber daya yang sudah di tambang di dunia. Jumlah ini lebih besr lagi menjadi 50 persen bila mempertimbangkan 30 salar dan laguna lain yang ada di Bolivia barat daya.
Lithium semakin dibutuhkan sebagai bahan baterai yang mentenagai ponsel, laptop, piranti nirkabel, dan sejumlah kendaraan hibrid dan elektrik, sedemikian hingga dikhawatirkan kebutuhannya akan segera menghabisi sumber daya. Dengan cara ini, Bolivia dapat menjadi Saudi Arabia untuk lithium, sehingga presiden sosialisnya, Evo Morales, segera mengamankan lokasi ini di bawah pengendalian pemerintah. Negara ini telah menghabiskan tiga tahun dan lebih dari 10 juta USD dalam pembangunan instalasi perdana untuk mengekstrak litihium. Namun menurut Juan Carlos Zuleta, seorang analis ekonomi lithium yang berbasis di ibu kota La Paz, ini memberi hasil yang kasar.
Eksploitasi lithium di Salar de Uyuni dapat memberi dampak.  Salah satunya adalah kehidupan liar: daerah ini adalah lahan perkembang biakan flamingo yang langka. Masalah lain adalah kesehatan masyarakat. Sebuah studi oleh Karin Broberg dari Universitas Lund di Swedia, dalam empat desa pegunungan di Andes Argentina menemukan kalau wanita disana mencerna begitu banyak lithium dari air tanah sehingga mereka menderita gejala yang sama dengan hipotiroidisme: kehilangan berat, kaku, depresi, dan lupa ingatan. Kondisi juga dapat dialami oleh mereka yang dirawat dengan lithium pada penderita gangguan bipolar. “Sekarang kita sangat ingin mempelajari masalah paparan lithium pada air minum di Bolivia,” kata Broberg.

Sumber
New Scientist, 11 Juni 2011
Referensi lanjut
Broberg K, Concha G, Engström K, Lindvall M, Grandér M, Vahter M 2011. Lithium in Drinking Water and Thyroid Function. Environ Health Perspect 119:827-830. doi:10.1289/ehp.1002678

Lebih Cepat dari Cahaya? Neutrino Menjadi Teka-teki Baru bagi Para Ilmuwan

Hasil ini didasarkan pada pengamatan lebih dari 15.000 neutrino.
Neutrino meluncur lebih cepat daripada cahaya? Hal ini tampaknya menjadi kesimpulan dari pengukuran yang dilakukan oleh tim peneliti di bawah pimpinan Dario Autiero, seorang peneliti CNRS, sebagai bagian dari eksperimen internasional OPERA. Hasil yang tak terduga ini dipublikasikan pada Jumat, 23 September 2011, pukul 2:00 (waktu Paris) dalam jurnal arXiv, dan disajikan pada hari yang sama pada pukul 4:00 am dari CERN, di Jenewa, dalam sebuah seminar yang disiarkan secara online.
Pada tahun 1905, teori relativitas Einstein telah membuktikan bahwa tidak ada yang mampu melebihi kecepatan cahaya dalam vakum. Namun, lebih dari satu abad kemudian, setelah tiga tahun pengukuran berpresisi sangat tinggi dan analisis yang kompleks, eksperimen OPERA telah membawa hasil yang sama sekali tak terduga: perjalanan neutrino secara signifikan ke depan lebih cepat daripada cahaya pada jarak yang sama dalam vakum.
Percobaan OPERA didedikasikan untuk mengobservasi dan mendeteksi sinar neutrino yang dihasilkan akselerator CERN di Jenewa dari jarak 730 km di laboratorium bawah tanah Gran Sasso, Italia. Perjalanan cahaya selama 2,4 milidetik. Namun percobaan OPERA telah mendeteksi neutrino mencapai Gran Sasso selama 60 nanodetik lebih cepat. Dengan kata lain, setelah berjalan 730 km, neutrino melewati garis finish 20 meter di depan foton hipotetis yang melakukan perjalanan pada jarak yang sama.
Detektor neutrino di laboraturium Gran Sasso, Italia (INFN). (Kredit: Paolo Lombardi INFN-MI)

“Kami telah menetapkan suatu sistem yang memungkinkan kami mencapai sinkronisasi antara CERN dan Gran Sasso dengan akurasi nanodetik dan kami telah mengukur jarak antara kedua situs ke dalam 20 cm. Karena ketidakpastian yang rendah dari pengukuran ini, kami sangat yakin dengan hasil kami ini,” kata Dario Autiero, peneliti CNRS dari Institut Fisika Nuklir (IPNL) di Lyon. “Dengan demikian, kami ingin membandingkan pengukuran kami dengan eksperimen lainnya, karena tidak ada dalam data kami yang menjelaskan mengapa neutrino tampaknya berjalan sedemikian cepat.” Hasil ini didasarkan pada pengamatan lebih dari 15.000 neutrino.
“Hasil ini benar-benar tak terduga,” tekan Antonio Ereditato, dari University of Bern dan juru bicara untuk eksperimen OPERA. “Penelitian dan verifikasi selama berbulan-bulan belumlah cukup untuk mengidentifikasi efek instrumental yang bisa menjelaskan hasil dari pengukuran kami ini. Selagi para peneliti yang mengambil bagian dalam eksperimen ini akan terus bekerja, mereka berharap  membandingkan hasil mereka ini dengan eksperimen lain sehingga bisa sepenuhnya menilai sifat pengamatan ini.
Sejauh ini, kecepatan cahaya selalu dianggap tak mampu diungguli. Semestinya ini tidak menjadi kasus, ini bisa membuka perspektif teoretis yang sama sekali baru. Mengingat dampak besar yang dihasilkan itu bisa terjadi pada fisika, pengukuran independen diperlukan pada efek yang terobservasi untuk memperoleh kepastian apakah nantinya terbantahkan atau sebaliknya menjadi mapan. Inilah alasan mengapa para peneliti dalam kolaborasi OPERA ingin mengirimkan hasil ini untuk pemeriksaan sesama fisikawan di seluruh dunia.
Percobaan OPERA diresmikan pada tahun 2006 untuk mengamati transformasi langka (osilasi) dari neutrino muon ke neutrino tau. Salah satu osilasi yang terdeteksi pada tahun 2010, menunjukkan kapasitas eksperimen yang unik dalam hal deteksi sinyal neutrino tau yang sulit dipahami.
Empat laboratorium CNRS yang terlibat dalam percobaan OPERA adalah Institut Fisika Nuklir INPL di Lyon (CNRS/Université Claude Bernard-Lyon 1), Institut Pluridisciplinary Hubert Curien (CNRS/Université de Strasbourg), Laboratorium Akselerator Linear (CNRS/Université Paris-Sud 11), yang berpartisipasi hingga tahun 2005, Laboratorium Fisika Partikel di Annecy le Vieux (CNRS/Université de Savoie).

Kredit: CNRS (Délégation Paris Michel-Ange)
Jurnal: OPERA. Measurement of the neutrino velocity with the OPERA detector in the CNGS beam. arXiv.org, 2011; [link]


Unsur-unsur Terberat Baru dalam Tabel Periodik ditemukan : Unsur 114 dan 116

Tabel periodik sekali lagi harus direvisi. Anggota terbarunya, ununquadium dan ununhexium, adalah unsur terberat baru, dengan proton sebanyak 114 dan 116 buah per atom.
Walau mereka eksis hanya dalam kurang dari satu detik sebelum luruh, mereka menjadi sebuah langkah menuju “pulau impian” dalam tabel periodik – sekelompok unsur super berat yang justru tidak radioaktif.
Beberapa tim mengklaim telah menjadi yang pertama membuat unsur 114, yang pertama melaporkan tahun 1999. Walau begitu, komite IUPAC memutuskan kalau sederetan eksperimen di tahun 2004 dan 2006 memberikan bukti pertama pembuatan unsur ini. Penemuan tersebut, yang dipimpin oleh Yuri Oganessian dari Lembaga Penelitian Nuklir Bersama (JINR) di Dubna, Rusia, dan Ken Moody dari Laboratorium Nasional Livermore Lawrence di California, juga menemukan unsur 116.
Inti unsur 116 berusia beberapa milidetik sebelum memancarkan sebuah partikel alpha – terdiri dari dua proton dan dua neutron – dan luruh menjadi inti unsur 114. Tim ini juga membuat unsur 114 secara langsung dengan menembak inti kalsium pada target plutonium, yang intinya memiliki 94 proton.
Inti unsur 114 meluruh setelah sekitar setengah detik menjadi copernicium, yang mengandung 112 proton dan juga merupakan unsur baru dalam tabel periodik, yang ditambahkan tahun 2009. Pola selang waktu antara peluruhan ini, bersama dengan energi yang dihasilkan oleh partikel alpha, yang memberi petunjuk pembentukan unsur baru.
Sayangnya, kecepatan peluruhan tersebut bermakna kalau terdapat tantangan untuk menentukan sifat kimia unsur tersebut, seperti dengan unsur kimia apa ia akan bereaksi. “Usianya harus cukup panjang sehingga kita dapat mempelajari kimianya – paling tidak satu menit,” kata Paul Karol dari Universitas Carnegie Mellon di Pittsburg, Pennsylvania, yang mengetuai tim kerja bersama.
Teoritikus nuklir menduga kalau ada sebuah kelas atom super berat yang dapat hidup selama bertahun-tahun. Inti luar mereka akan mempercepat elektron yang mengorbit ke kecepatan relativistik, sehingga mereka dapat memunculkan sifat kimia baru. para peneliti semakin dekat dan dekat pada pulau impian dalam tabel periodik ini.
Secara resmi, sekarang jumlah unsur di tabel kimia adalah 114, yang mencakup unsur 1 (Hidrogen) hingga 112 (Copernicium), unsur 114 (Ununquadium), dan unsur 116 (Ununhexium). Unsur 113, 115, dan 118 ditolak karena bukti yang ada tidak cukup. Sementara unsur 117 belum berhasil dibuat sama sekali.

Sumber
New Scientist, 11 Juni 2011
Referensi lanjut
Robert C. Barber, Paul J. Karol, Hiromichi Nakahara, Emanuele Vardaci and Erich W. Vogt. Discovery of the elements with atomic numbers greater than or equal to 113 (IUPAC Technical Report). Pure and Applied Chemistry, 2011, Vol. 83, No. 7, pp. 1485-1498 doi: 10.1351/pac-rep-10-05-01


Cahaya dari Kluster Galaksi Mengkonfirmasi Teori Relativitas Einstein

"Ternyata, perhitungan teoritis pergeseran merah gravitasi berdasarkan teori relativitas umum adalah sangat sesuai dengan pengamatan astronomi."
egala observasi dalam astronomi berbasis pada cahaya yang dipancarkan dari bintang dan galaksi. Sedangkan berdasarkan teori relativitas umum, cahaya akan terpengaruh oleh gravitasi. Pada saat yang sama, semua interpretasi dalam astronomi didasarkan pada teori kebenaran yang relatif, namun belum pernah memungkinkan untuk menguji teori gravitasi Einstein pada skala yang lebih besar lagi daripada tata surya. Kini, para astrofisikawan dari Dark Cosmology Centre di Niels Bohr Institute telah berhasil mengukur bagaimana cahaya dipengaruhi oleh gravitasi pada perjalanan keluarnya dari kluster galaksi. Pengamatan ini mengkonfirmasi prediksi teoritis.
Hasilnya telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, Nature.
Pengamatan pada jarak yang besar di alam semesta didasarkan pada pengukuran pergeseran merah, yang merupakan fenomena di mana panjang gelombang cahaya dari galaksi jauh bergeser lagi dan lagi ke arah merah dengan jarak yang lebih besar. Pergeseran merah menunjukkan seberapa banyak alam semesta mengembang dari saat cahaya tertinggal hingga diukur di Bumi. Selanjutnya, menurut teori relativitas umum Einstein, cahaya dan pergeseran merah juga dipengaruhi oleh gravitasi dari massa besar seperti kluster galaksi dan menyebabkan pergeseran merah gravitasional pada cahaya. Tetapi pengaruh gravitasi pada cahaya belum pernah diukur pada skala kosmologis.
“Ini sungguh menabjudkan. Kita hidup di era dengan kemampuan teknologi yang benar-benar bisa mengukur fenomena seperti pergeseran merah gravitasional kosmologis,” kata astrofisikawan Radek Wojtak, dari Dark Cosmology Centre di bawah Niels Bohr Institute di University of Copenhagen.


Hingga saat ini, pergeseran merah gravitasional hanya diuji dengan percobaan dan pengamatan dalam kaitannya dengan jaraknya di bumi dan dalam kaitannya dengan sistem tata surya. Dengan penelitian baru, teori ini telah diuji pada skala kosmologis untuk pertama kalinya dengan menganalisis galaksi-galaksi dalam kluster galaksi di alam semesta jauh. Ini adalah skala yang sangat besar, yang merupakan faktor 1.022 kali lebih besar (sepuluh ribu miliar miliar kali lebih besar dibandingkan dengan pengujian laboratorium). Data yang terobservasi ini mengkonfirmasikan teori umum relativitas Einstein. (Kredit: Dark Cosmology Centre, Niels Bohr Institute)

Kluster galaxy dalam sorotan cahaya
Radek Wojtak, bersama dengan kolega Steen Hansen dan Jens Hjorth, telah menganalisis pengukuran cahaya galaksi pada sekitar 8.000 kluster galaksi. Kluster galaksi adalah akumulasi dari ribuan galaksi, yang menggerombol akibat gravitasi mereka sendiri. Gravitasi ini mempengaruhi cahaya yang dikirim ke ruang angkasa dari galaksi-galaksi tersebut.
Para peneliti telah mempelajari galaksi-galaksi yang berada di tengah kluster galaksi dan yang terletak di pinggirannya, lalu mengukur panjang gelombang cahayanya.
“Kami bisa mengukur perbedaan kecil dalam pergeseran merah galaksi-galaksi tersebut dan melihat bahwa cahaya dari galaksi yang berada di tengah-tengah kluster ‘merangkak’ keluar melalui medan gravitasi, sedangkan cahaya dari galaksi-galaksi terpencil lebih mudah untuk muncul,” jelas Radek Wojtak.
Kemudian dia mengukur total massa kluster galaksi, dan juga dengan yang terkena potensial gravitasi. Dengan menggunakan teori relativitas umum dia kini bisa menghitung pergeseran merah gravitasional pada lokasi-lokasi galaksi yang berbeda.
“Ternyata, perhitungan teoritis pergeseran merah gravitasional berdasarkan teori relativitas umum adalah sangat sesuai dengan pengamatan astronomi. Analisis kami pada pengamatan kluster galaksi menunjukkan bahwa pergeseran merah cahaya tersebut secara proporsional berimbang dalam kaitannya dengan pengaruh gravitasional dari gravitasi kluster galaksi. Dengan demikian, pengamatan kami mengkonfirmasi teori relativitas,” jelas Radek Wojtak.
Cahaya baru di alam semesta gelap
Penemuan ini memiliki arti penting bagi fenomena di alam semesta yang tengah berusaha diungkap oleh para peneliti, yaitu alam semesta gelap yang misterius – materi gelap dan energi gelap.
Selain benda-benda angkasa yang terlihat seperti bintang, planet dan galaksi, alam semesta juga terdiri dari sejumlah besar materi, yang menurut para peneliti bahwa itu ada, namun yang tidak bisa diamati karena tidak memancarkan atau memantulkan cahaya. Tidak terlihat sehingga disebut sebagai materi gelap. Tidak ada yang tahu seperti apakah materi gelap itu, tapi mereka tahu massa dan gravitasinya. Hasil terbaru mengenai pergeseran merah gravitasional tidak mengubah model para peneliti untuk keberadaan materi gelap.
Komponen utama lainnya di alam semesta adalah energi gelap, yang menurut model teoritis bertindak seperti vakum yang menyebabkan dipercepatnya ekspansi alam semesta. Menurut perhitungan, yang didasarkan pada teori relativitas Einstein, energi gelap merupakan 72 persen struktur alam semesta. Banyak teori-teori alternatif yang mencoba menjelaskan percepatan ekspansi tanpa kehadiran energi gelap.
Teori diuji dalam skala besar
“Sekarang teori relativitas umum telah diuji pada skala kosmologis dan ini menegaskan bahwa teori relativitas umum memang bekerja. Artinya, ada indikasi kuat akan keberadaan energi gelap,” jelas Radek Wojtak.
Hasil gravitasional baru ini dengan demikian mengkontribusikan sepotong wawasan baru untuk memahami alam semesta gelap dan memberi pemahaman yang lebih besar tentang sifat alam semesta terlihat.

Kredit: University of Copenhagen
Jurnal: Radoslaw Wojtak, Steen H. Hansen, Jens Hjorth. Gravitational redshift of galaxies in clusters as predicted by general relativity. Nature, 2011; 477 (7366): 567 DOI: 10.1038/nature10445

Ilmuwan Memodifikasi HIV agar Tidak Mampu Menyerang Sistem Kekebalan

Dengan mengubah virus, para peneliti mampu membangkitkan kembali respon sistem kekebalan terhadap HIV dan meniadakan sifat-sifatnya.
Para peneliti dari Johns Hopkins telah memodifikasi HIV (human immunodeficiency virus) dengan cara membuatnya tidak lagi mampu menekan sistem kekebalan tubuh. Dalam laporan yang dipublikasikan online 19 September dalam jurnal Blood, mereka menyebut bahwa hal ini bisa menghapus rintangan utama dalam pengembangan vaksin HIV dan mengarah pada pengobatan baru.
“Hal tentang HIV adalah menurunkan respon kekebalan tubuh, bukan memicunya, sehingga sulit untuk mengembangkan vaksinnya,” kata David Graham, Ph.D., asisten profesor molekul dan patobiologi dan obat-obatan komparatif. “Kami sekarang sepertinya memiliki cara untuk menghindari penghalang ini,” tambahnya.
Biasanya, ketika sel-sel sistem kekebalan tubuh terserang virus, mereka mengirimkan alarm dengan melepaskan zat kimia yang disebut interferon untuk memperingatkan seluruh tubuh akan adanya infeksi virus. Namun, ketika sel-sel kekebalan menghadapi HIV, mereka melepaskan interferon terlalu banyak, sehingga menjadi kewalahan dan menutup respon untuk melawan virus berikutnya.
Para peneliti telah belajar dari penelitian lain bahwa ketika sel-sel kekebalan tubuh manusia (sel darah putih) kehabisan kolesterol, HIV tidak bisa lagi menginfeksi mereka. Ternyata selubung yang mengelilingi dan melindungi genom HIV juga kaya dengan kolesterol, mengarahkan tim riset Johns Hopkins untuk menguji apakah HIV yang kurang kolesterol juga masih bisa menginfeksi sel.
Sebuah model HIV yang menunjukkan organisasi kolesterol membran yang terkait (warna kuning). (Kredit: Johns Hopkins Medical Institutions/Jenny Wang)
Para peneliti memasukkan HIV dengan bahan kimia yang bisa menghilangkan kolesterol dari selubung virus. Kemudian mereka memasukkan HIV yang sudah berkurang kolesterolnya ini ke dalam sel-sel kekebalan tubuh manusia yang bertumbuh dalam tabung kultur, serta mengukur bagaimana sel-sel tersebut meresponnya. Hasilnya, sel-sel yang terkena HIV kurang-kolesterol tidak melepaskan interferon, sedangkan sel-sel yang terpapar HIV normal melepaskan interferon.
“Pengubahan HIV tidak membanjiri sistem dan alih-alih memicu respon imun bawaan untuk bereaksi, sepertinya ini melakukannya pada setiap pertemuan virus pertama,” kata Graham.
Selanjutnya, para peneliti memeriksa apakah HIV kurang-kolesterol mengaktifkan respon imun adaptif – respon yang membantu tubuh mengingat patogen spesifik jangka panjang sehingga tubuh mengembangkan imunitas dan melawan infeksi di masa depan. Untuk melakukannya, mereka menempatkan HIV normal atau yang kurang kolesterol pada sampel darah, yang berisi semua sel berbeda yang diperlukan untuk respon imun adaptif.
Lebih spesifik lagi, mereka menguji sampel darah dari orang yang sebelumnya sudah terkena HIV untuk melihat apakah darah mereka mampu menunggangi respon imun adaptif. Sampel darah yang digunakan berasal dari 10 orang positif HIV dan dari 10 orang sehat yang berulang kali dipaparkan HIV. Saat HIV kurang-kolesterol dipaparkan pada darah yang tidak terinfeksi dalam tabung, sel-sel respon imun adaptif bereaksi terhadap virus. Dengan mengubah virus, para peneliti mampu membangkitkan kembali respon sistem kekebalan terhadap HIV dan meniadakan sifat-sifatnya, jelas Graham.
“Selain aplikasi vaksin, penelitian ini juga membuka jalan bagi pengembangan obat untuk menyerang selubung virus HIV sebagai terapi tambahan terhadap promosi deteksi virus pada sistem kekebalan tubuh,” kata Graham.

Penelitian ini didukung pendanaan dari Wellcome Trust dan Institut Kesehatan Nasional.
Kredit: Johns Hopkins Medical Institutions
Jurnal: A. Boasso, C. M. Royle, S. Doumazos, V. N. Aquino, M. Biasin, L. Piacentini, B. Tavano, D. Fuchs, F. Mazzotta, S. Lo Caputo, G. M. Shearer, M. Clerici, D. R. Graham. Over-activation of plasmacytoid dendritic cell inhibits anti-viral T-cell responses: a model for HIV immunopathogenesis. Blood, 2011; DOI: 10.1182/blood-2011-03-344218


Kamis, September 15, 2011

Sistem Transportasi Tumbuhan

Tumbuhan merupakan mahluk hidup yang bagi kita tidak terlihat seperti sebuah mahluk hidup karena ia tidak dapat bergerak. Mereka memang tidak memiliki alat gerak seperti kaki dan tangan yang terdapat pada hewan dan manusia, tetapi organ-organ mereka sangatlah kompleks untuk dipelajari. Ada beberapa tumbuhan yang sudah sepenuhnya berkembang menjadi tumbuhan lengkap yang memiliki daun, akar, batang, bunga dan buah.

Ada juga tumbuh-tumbuhan yang tidak memiliki beberapa organ-organ tersebut. Namun, di setiap tumbuhan tersebut pasti ada jaringan pengangkutan terpenting yang terdiri dari xylem dan juga floem. Berikut ini, saya akan memaparkan betapa pentingnya mereka bagi proses kehidupan sebuah tanaman dan juga bagaimana mereka berperan untuk mengambil air dari dalam tanah dan kemudian menyebarkannya ke seluruh bagian tanaman agar semua organ tanaman dapat berkembang secara maksimal.
Pertama sekali, jaringan xylem memiliki dua fungsi dalam tanaman. Fungsi pertama adalah untuk mengangkut air dan juga mineral-mineral dari dalam tanah ke batang dan juga daun-daun. Fungsi kedua xylem adalah untuk menyangga tanaman itu sendiri sehingga ia tidak mudah jatuh atau roboh. Xylem sebenarnya berbentuk kolom-kolom panjang yang bagian tengahnya kosong. Kolom berbentuk tabung ini terdapat dari akar tanaman sampai ke daun-daun tanaman walaupun mereka sangatlah tipis. Oleh karena itu, xylem dan floem hanya dapat diteliti melalu mikroskop. Bagian tengah kolom ini merupakan bagian yang berkelanjutan dan tidak pernah putus walaupun tanaman itu memiliki banyak cabang. Untuk menguatkan xylem, di dinding kolom-kolom ini terdapat zat bernama lignin. Tabung-tabung xylem yang kosong dan berkelanjutan ini memudahkan tugas xylem untuk mengangkut air dan juga mineral-mineral sehingga tidak ada dari mereka yang tersangkut pada bagian-bagian sel tertentu (protoplasm). Selain itu, kehadiran lignin juga menguatkan tanaman agar ia tidak mudah roboh dan dapat berdiri tegak.

Jaringan kedua yang berperan penting dalam proses pengangkutan dalam tanaman ialah floem. Floem mengangkut gula sukrosa dan juga asam amino dari organ-organ tumbuhan yang berwarna hijau, terutama sekali daun, ke bagian-bagian lain dalam tumbuhan. Berbeda dari xylem, floem memiliki sel-sel yang bernama sieve tube sel, dan transportasi gula sukrosa dan asam amino dapat dilakukan melalui difusi dan juga aktif transport dari sel ke sel dalam floem. Oleh karena itu, makanan-makanan ini dapat menjangkau organ-organ tanaman dalam waktu yang sangat singkat agar mereka bisa melakukan respirasi dan berkembang.
Penyerapan air dari dalam tanah ke bagian atas tumbuhan memiliki arti bahwa tanaman tersebut harus melawan gaya gravitasi bumi yang selalu mengakibatkan benda jatuh ke bawah. Akan tetapi, tanaman berhasil melakukan hal itu. Kuncinya ialah tanaman-tanaman ini menggunakan tekanan akar, tenaga kapilari, dan juga tarikan transpirasi. Namun pada tanaman-tanaman yang sangat tinggi, yang berperan paling penting adalah tarikan transpirasi. Dalam proses ini, ketika air menguap dari sel mesofil, maka cairan dalam sel mesofil akan menjadi semakin jenuh. Sel-sel ini akan menarik air melalu osmosis dari sel-sel yang berada lebih dalam di daun. Sel-sel ini pada akhirnya akan menarik air yang diperlukan dari jaringan xylem yang merupakan kolom berkelanjutan dari akar ke daun. Oleh karena itu, air kemudian dapat terus dibawa dari akar ke daun melawan arah gaya gravitasi, sehingga proses ini terus menerus berlanjut. Proses penguapan air dari sel mesofil daun biasa kita sebut dengan proses transpirasi. Oleh itu, pengambilan air dengan cara ini biasa kita sebut dengan proses tarikan transpirasi dan selama akar terus menerus menyerap air dari dalam tanah dan transpirasi terus terjadi, air akan terus dapat diangkut ke bagian atas sebuah tanaman
Proses transpirasi ini selain mengakibatkan penarikan air melawan gaya gravitasi bumi, juga dapat mendinginkan tanaman yang terus menerus berada di bawah sinar matahari. Mereka tidak akan mudah mati karena terbakar oleh teriknya panas matahari karena melalui proses transpirasi, terjadi penguapan air dan penguapan akan membantu menurunkan suhu tanaman. Selain itu, melalui proses transpirasi, tanaman juga akan terus mendapatkan air yang cukup untuk melakukan fotosintesis agar keberlangsungan hidup tanaman dapat terus terjamin. 

sumber: http://goalterzoko.blogspot.com/2009/08/sistem-transportasi-tumbuhan.html#comment-form

Rabu, September 14, 2011

Ilmuwan Temukan Ikan Predator Kuno Menyeramkan

Headline

Ilmuwan berhasil menemukan spesies ikan predator yang hidup di laut 375 juta tahun silam. Layaknya predator, ikan ini menunggu mangsa di dasar dan menggigitnya.
Ikan berhasil diidentifikasi dari temuan fosil di Kanada. Ilmuwan di Academy of Natural Sciences mengatakan, makhluk ini menghuni jalan air kuno Amerika Utara selama periode Devonian, tepat sebelum hewan bertulang belakang muncul.
Periode Devonian yang dimulai dari 360-415 juta tahun silam ini sering disebut-sebut sebagai Era Ikan. Hal ini dikarenakan seperti ditulis UPI, saat itu ragam bentuk akuatik yang menghuni laut, laguna dan aliran kuno sangat kaya dan beragam.
Ikan bernama Laccognathus Embryi ini tumbuh sepanjang 1,5-2 meter dengan kepala lebar dan mata kecil serta rahang kuat dengan barisan gigi tajam.
“Jelas sekali ekosistem Devonian sangat keras dan ikan ini menjadi penghuni dasar dan menjadi predator yang duduk manis menunggu mangsanya kemudian digigit dengan rahang kuatnya,” ujar peneliti Edward Daeschler.
Fosil ini ditemukan di Ellesmere Island di daerah terpencil Nunavut Territory Arktik Kanada.

Mengapa Ikan di Antartika Tak Membeku?

Air dingin di Samudera Antartika seharusnya cukup untuk membekukan darah ikan. Namun ikan-ikan di sana tak membeku. Mengapa? Hal itu berkat antibeku alami yang dimiliki ikan, sehingga memungkinkan darah terus mengalir. Padahal suhu beku Samudera Antartika minus 1,8 derajat Celcius. Suhu ini lebih rendah dari titik beku darah ikan, minus 0,9 derajat C. 
Bagaimana ikan mampu terus bergerak di suhu itu, membingungkan peneliti selama lebih dari 50 tahun. Hingga protein perlindungan beku khusus ditemukan dalam darah ikan. Protein antibeku ini bekerja lebih baik dari antibeku rumah. Namun cara kerja antibeku ini masih belum jelas. Pada pertanyaan kimia, para ilmuwan mempelajari protein antibeku Toothfish Antartika (Dissostichus mawsoni) yang ditangkap salah satu peneliti saat ekspedisi Antartika. 
Para ilmuwan menggunakan teknik khusus mencatat gerakan molekul air yang tercampur protein antibeku ikan. Kehadiran protein antibeku ini membuat molekul air menari dengan tarian yang lebih teratur dibanding seharusnya. Protein antibeku ini menganggu molekul-molekul air sehingga tak bisa terikat dan membentuk kristal es. "Tarian disko itu menjadi minuet,” kata anggota tim studi Martina Havenith dari Ruhr University Bochum di Jerman. Penelitian ini diterbitkan Journal of American Chemical Society. 

Babi Berwajah Manusia, Warga Salahkan Alien

Headline

Kanal berita Guatemala melaporkan kelahiran seekor babi aneh berwajah menyerupai manusia. Menurut keterangan warga, malam sebelum babi ini lahir, UFO melayang di langit.
Menurut para warga setempat, fitur aneh babi ini merupakan hasil ‘kerja’ alien. Merujuk pada teori UFO bahwa alien menganggu hewan ternak, anggota media lokal ini menduga fitur aneh babi ini merupakan efek samping radiasi pesawat luar angkasa.
“Ide babi ini merupakan ‘keisengan’ alien atau hasil lintas spesies sangat konyol,” ujar Direktur Center for Integrated Animal Genomics Max Rothschild di Iowa University.
Pria yang juga menjadi koordinator USDA National Pig Genome Project ini menegaskan ada penjelasan sempurna pada tampilan serupa manusia pada hewan ini.
Pada 1-2% babi terlahir dengan cacat, ujarnya. Babi seperti ini bukanlah mutan melainkan lebih pada kesalahan mekanis yang muncul di rahim selama perkembangan. Selain itu, babi ini bisa juga merupakan hasil dari ‘makanan atau nasib buruk seperti sel yang tak membelah dengan benar’.
"Mekanisme replikatif ini terkadang memang salah,” ujarnya.
Rothschild menilai, dugaan kuat masalah yang terjadi pada babi ini adalah hydrocephalus, penumpukan cairan di tengkoran yang menyebabkannya bengkak.
“Keanehan semacam ini tak ada dasar genetiknya melainkan masalah yang timbul saat perkembangan,” paparnya.
Menurutnya, semua keturunan mamalia, termasuk manusia, bisa mengalami cacat perkembangan selama kehamilan. Hal ini terkadang bisa menyebabkan keguguran.
"Pada babi, kasus semacam ini terjadi karena babi telah berkali-kali melahirkan,” tutupnya seperti dikutip Science.
Berikut videonya

Perubahan Iklim Bikin Kepiting Raksasa 'Ngamuk'

Hewan raksasa menguasai ‘neraka antartika’ terdengar seperti film horor blockbuster. Namun ilmuwan mengklaim, fenomena ini sedang terjadi saat ini. 
Menurut laporan yang diterbitkan di Proceedings of the Royal Society B, kepiting selebar satu meter menyerbu ujung Antartika dan menghancurkan ekosistem yang pembuatannya butuh jutaan tahun yang ada di sana.
Kepiting Raja telah mengolonisasi ‘neraka Antartika’ Palmner Deep, cekungan dengan kedalaman lebih dari 1.310 meter di jazirah Antartika. Temuan yang dipimpin University of Hawaii ini menunjukkan sebuah video di dasar laut.
Menurut Treehugger, meningkatnya suhu menjadi dalang. Singkatnya, kolonisasi kepiting ini disebabkan perubahan iklim.
Invasi ini menjadi kejutan bagi para ilmuwan. Pasalnya, kepiting ini diperkirakan baru akan menyerbu 100 tahun lagi. Berikut videonya.

Minggu, September 11, 2011

Apa Isi dari Inti Bumi Kita?


Orang bisa berkhayal suatu saat nanti, manusia bisa melancong dengan bebas ke planet tetangga. Namun, melancong ke inti Bumi merupakan suatu kemustahilan.
Menjelajah kedalaman laut atau hutan tak tertembus termasuk hal yang masih mungkin dilakukan namun tak begitu dengan menjelajah inti Bumi. Pengeboran terkeras hanya mampu menembus di kedalaman 12 km dan itu hanya 0,2% radius Bumi.
Setelahnya, panas tinggi akan menyerang dan membuat apa pun meleleh. Tekanan dan suhu ekstrim interior planet ini permanen jauh dari jangkauan. Karenanya, Bumi selalu memiliki ‘keajaiban’ yang mampu mempesona manusia.
Inti Bumi sendiri memerankan pusat di banyak kosmologi dan kepercayaan tradisional. Terbaru, sedikit demi sedikit sains mulai memahaminya. Berikut pandangan kronologis pemahaman evolusi manusia dari dunia panas di bawah kaki manusia.
Lubang Neraka
Pandangan tradisional yang banyak menyebar menyatakan, inti Bumi adalah danau api tempat orang jahat tinggal untuk selamanya atau biasa disebut neraka. Mengabaikan sisi kehidupan setelah meninggal, penggambaran neraka yang ada akurat dengan inti Bumi.
Mengejutkan memang, banyak keyakinan dan kosmologi menggambarkannya dengan benar, yakni berupa letusan gunung api yang bisa disajikan di budaya kuno dengan pandangan menakutkan api neraka. Pada kenyataannya, belerang yang menjadi metafora Neraka di Injil Krister hanyalah sejenis batu yang biasa ditemukan di gunung api.
Kura-kura dunia
Banyak budaya Asia Timur dan Amerika asli tak menggambarkan interior Bumi seperti neraka. Gantinya, mereka menggambarkannya sebagai kura-kura raksasa yang disebut ‘kura-kura dunia’. Kura-kura ini menopang Bumi di punggungnya.
Beberapa variasi mitos ini menyebutkan, kura-kura ini diganti gajah dalam mitos Hindus namun beberapa sejarawan menggambarkan, dunia berada di atas punggung gajah yang berdiri di atas kura-kura. Awal mulanya di 1931, antropolog Frank Speck mempelajari mitos ini dari Delaware India yang meyakini kura-kura mewakili sifat tekun dan panjang umur.
Fisikawan Stephen Hawking memiliki anekdot terkenal mengenai mitos ini yakni, kura-kura berdiri di punggung kura-kura lain yang berdiri di kura-kura lainnya lagi dan semuanya adalah kura-kura.
Inti emas
Geolog Bernard Wood dari University of Oxford memperkirakan, ada 1,6 kuadriliun ton emas di inti Bumi dan jumlah ini cukup untuk menyelimuti permukaan planet dengan emas setebal 0,5 meter. Menurutnya, jumlah emas yang ada enam kali lebih banyak dari platina, nikel, niobium, dan elemen besi lainnya.
Hipotesa geolog ini muncul setelah ia meneliti konten besi pada meteorit yang serupa ‘planetismal,’ benda langit kecil bertubrukan pembentuk Bumi. Wood menemukan banyak emas pada meteorit ini.
Lapisan bawang
Kerak Bumi seolah membisikkan rahasia apa yang ada di bawahnya. Saat ada gempa, gelombang seismic memantul melewati Bumi dan memantulkan kerak, mantel, inti luar dan dalam kemudian terekam seismogram di seluruh dunia. Kemudian, ilmuwan melacak ulang untuk membuat peta interior Bumi.
Hasilnya, ditemukan sebuah bola besi dan nikel solid di intinya. Meski diyakini memiliki suhu 5.500C, inti Bumi juga memiliki tekanan tinggi yakni lebih dari tiga juta kali atmosfer permukaan planet ini. Tekanan ini akan membuat suhu pada titik besi meleleh.
Menurut geolog Caltech David Stevenson, lapisan cairan terluar sebesar 95% total volum inti. Mantel terletak pada 3.500 km di luar inti Bumi. Batu tebal ini menyumbang 84% total volume planet dan mantel ini dilapisi kerak tipis tempat tinggal manusia.
Bola Kristal
Bukti menunjukkan, inti Bumi bukanlah bagian homogeny. Ilmuwan menyadari gelombang seismic yang melewati inti lebih cepat dari satu kutub ke lainnya. Artinya, inti Bumi memiliki struktur yang berbeda arah satu sama lain. Para ahli yakin, hal ini disebabkan karena inti Bumi terbuat dari kristal yang tertata kutub magnet Bumi.
Geofisikawan Ronald Cohen dari Carnegie Institute menemukan, gelombang horizontal dan vertical membuat atom nikel dan besi tercampur dua jenis kristal yang membuatnya memiliki struktur heksagonal dan kubus. Menurut Cohen, kristal ini mungkin ditata berlawanan di inti Bumi tempat tekanan tertinggi. Lebih jauh, “Mungkin ada cairan di antaranya”.
Hutan terlarang
Geolog Jepang Kei Hirose baru-baru ini melakukan percobaan mereplika kondisi di inti Bumi dalam skala kecil di lab. Menggunakan catok, alat seperti penjepit, ia memanaskan besi nikel pada suhu 4.500 Celsius dan tekanan atmosfer tiga juta kali. Berdasarkan apa yang terjadi, ia menyatakan, kristal dalam inti Bumi setinggi 10 km. Hirose pun menggambarkannya sebagai ‘hutan kristal’


sumber