Rabu, Desember 21, 2011

Ilmuwan Menemukan Mikroba yang Mampu Hidup dalam Kondisi Ekstrim Seperti di Mars

"Kami tahu dari pemeriksaan langsung, serta citra satelit, bahwa olivin ada di dalam bebatuan Mars. Dan kini kami tahu bahwa olivin dapat menopang kehidupan mikroba."
Sebuah tim ilmuwan dari Oregon telah menemukan mikroba dari es dalam tabung lava di Pegunungan Cascade dan menemukan bahwa mereka berkembang dalam dingin, kondisi-kondisi yang mirip dengan kondisi di planet Mars. Mikroba ini mentolerir suhu yang mendekati titik beku dan rendah oksigen, dan mereka dapat bertumbuh tanpa adanya makanan organik. Dalam kondisi metabolisme yang didorong oleh oksidasi besi dari olivin, mineral vulkanik yang umum ditemukan di dalam bebatuan tabung lava. Faktor-faktor tersebut membuat mikroba ini mampu hidup di bawah permukaan Mars dan planet-planet lainnya, kata para ilmuwan.
Temuan ini, yang didukung pendanaan dari National Aeronautics and Space Administration (NASA), secara rinci dijelaskan dalam jurnal Astrobiology.
“Mikroba ini berasal dari salah satu genera bakteri yang paling umum di Bumi,” kata Amy Smith, seorang mahasiswi doktoral di Oregon State University dan salah satu penulis penelitian. “Anda dapat menemukan sepupu-sepupunya di gua-gua, pada kulit Anda, di dasar laut dan hampir di semua tempat. Apa yang berbeda, dalam hal ini, adalah kualitas yang unik yang memungkinkannya bertumbuh dalam kondisi seperti yang ada di Mars.”
Di laboratorium pada suhu kamar dan dengan kadar oksigen yang normal, para ilmuwan menunjukkan bahwa mikroba ini dapat mengkonsumsi bahan organik (gula). Namun ketika para peneliti menyingkirkan bahan organik itu, mengurangi suhu hingga mendekati titik beku, dan menurunkan kadar oksigen, mikroba ini mulai menggunakan besi di dalam olivin – bahan silikat yang umum ditemukan di batuan vulkanik di Bumi dan di Mars – sebagai sumber energi.
“Reaksi yang melibatkan mineral umum dari bebatuan vulkanik ini belum pernah didokumentasikan sebelumnya,” kata Martin Fisk, seorang profesor di College of Earth, Ocean, and Atmospheric Sciences OSU. “Pada bebatuan vulkanik yang secara langsung terkena udara dan pada suhu yang hangat, oksigen di atmosfer mengoksidasi besi sebelum mikroba dapat menggunakannya. Namun dalam tabung lava, di mana bakteri diselimuti es sehingga terlindung dari atmosfer, mereka bersaing dengan oksigen untuk memperoleh besi.
“Dengan meniru kondisi tersebut, kami bisa membuat mikroba itu mengulangi perilaku tersebut di dalam laboratorium,” tambah Fisk.

Amy Smith dan Radu Popa mengumpulkan sampel es dengan kepingan basal mengandung olivin dari tabung lava di Pegunungan Cascade Oregon. (Kredit: Jane Boone)

Mikroba ini dikumpulkan dari tabung lava di dekat Kawah Newberry di Pegunungan Cascades Oregon, pada ketinggian sekitar 5.000 kaki. Mereka berada dalam es di bebatuan sekitar 100 meter di dalam tabung lava, dalam lingkungan rendah oksigen, mendekati titik-beku. Para ilmuwan, termasuk Fisk, mengatakan bahwa di bawah permukaan Mars bisa memiliki kondisi yang sama dan bisa menjadi pelabuhan bakteri.
Bahkan, Fisk pernah memeriksa meteorit yang berasal dari Mars, yang berisi jejak-jejak – yang mungkin menunjukkan konsumsi oleh mikroba – meskipun tidak ada material hidup yang ditemukan. Jejak serupa ditemukan pada bebatuan tabung lava Kawah Newberry, katanya.
“Kondisi dalam tabung lava tidak sekeras di Mars,” kata Fisk. “Di Mars, suhu jarang mencapai ke titik beku, tingkat oksigen yang rendah dan pada permukaannya, zat cair tidak hadir. Namun air dihipotesis ada di bawah permukaan Mars dan bersuhu lebih hangat. Meskipun studi ini tidak persis meniru apa yang akan Anda temukan di Mars, hal ini menunjukkan bahwa bakteri dapat hidup dalam kondisi serupa.
“Kami tahu dari pemeriksaan langsung, serta citra satelit, bahwa olivin ada di dalam bebatuan Mars,” tambah Fisk. “Dan kini kami tahu bahwa olivin dapat menopang kehidupan mikroba.”
Gagasan untuk menjelajahi tabung lava berasal dari Radu Popa, seorang asisten profesor di Portland State University. Popa pernah mengeksplorasi gua-gua di tempat asalnya, Rumania, dan telah terbiasa dengan kondisi lingkungan tersebut. Karena tabung lava merupakan lingkungan yang terlindung dan ada pada Bumi maupun Mars, Popa mengusulkan gagasan untuk mempelajari mikroba pada lingkungan tersebut untuk melihat apakah kehidupan bisa ada di Planet Merah.
“Ketika suhu dan tekanan atmosfer di Mars lebih tinggi, sebagaimana pernah terjadi di masa lalu, ekosistem-ekosistem berbasis jenis bakteri ini bisa berkembang,” kata Popa. “Tanda-tanda yang ditinggalkan oleh bakteri seperti pada permukaan mineral dapat digunakan oleh para ilmuwan sebagai alat untuk menganalisis apakah kehidupan pernah ada di Mars.”

Kredit: Oregon State University
Jurnal: Radu Popa, Amy R. Smith, Rodica Popa, Jane Boone, Martin Fisk. Olivine-Respiring Bacteria Isolated from the Rock-Ice Interface in a Lava-Tube Cave, a Mars Analog Environment. Astrobiology, 2011; 111214063927003 DOI: 10.1089/ast.2011.0639

Ilmuwan Menemukan Berbagai Gen untuk Melawan Perubahan Iklim bagi Tanaman Padi

"Temuan ini akan berguna dalam pemilihan varietas tanaman yang dapat mengatasi variabel dan perubahan iklim."
Para ilmuwan dari Universitas Queensland menemukan bahwa kerabat tanaman padi purba mengandung gen yang berpotensi bisa menyelamatkan tanaman pangan ini dari efek buruk pemanasan global.
Pada sebuah laporan yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), telah ditunjukkan bahwa tanaman padi liar pada wilayah-wilayah panas dan kering di Australia cenderung lebih beragam secara genetik.
Profesor Robert Henry dari Aliansi Queensland untuk Pertanian dan Inovasi Pangan (QAAFI), yang memimpin tim peneliti, mengatakan adanya implikasi global untuk penemuan ini.
“Temuan ini akan berguna dalam pemilihan varietas tanaman yang dapat mengatasi variabel dan perubahan iklim,” katanya.
Keragaman genetik yang ditemukan oleh para ilmuwan dipandang sebagai benteng perlawanan terhadap perubahan iklim karena beberapa gen menawarkan tingkat resistensi pada patogen bakteri dan jamur, yang diketahui menyerang tanaman saat berada di bawah tekanan.
Dalam penelitian yang dilakukan pada lanskap terpencil sepanjang lebih dari 238 km ini, para peneliti dari QAAFI dan Southern Cross University membandingkan kerabat sereal liar yang tumbuh di Australia dengan sereal yang ditemukan di Fertile Crescent, di mana pertanian dimulai dalam peradaban.
Fertile Crescent adalah wilayah geografis yang membentang lebih dari 2000 km dari Sungai Nil di Mesir hingga ke perairan Teluk Persia di sebelah barat.
Proyek penelitian padi liar ini merupakan sebuah kolaborasi dengan Profesor Eviatar Nevo dari Institut Evolusi di Israel, yang menggunakan kemajuan terbaru dalam teknologi sekuensing DNA untuk memeriksa genetika populasi tanaman liar dalam skala besar.


Kredit: Universitas Queensland
Jurnal: Timothy L. Fitzgerald, Frances M. Shapter, Stuart McDonald, Daniel L. E. Waters, Ian H. Chivers, Andre Drenth, Eviatar Nevo, Robert J. Henry. Genome diversity in wild grasses under environmental stress. Proceedings of the National Academy of Sciences, 15 Desember 2011. DOI: 10.1073/pnas.1115203108

Menggunakan Pengurutan Genom untuk Memonitor Evolusi Bakteri ke Arah Resistensi Obat

Kedua studi ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan keseluruhan pengurutan genom, para peneliti bergerak semakin dekat untuk sepenuhnya memahami bagaimana bakteri bermutasi dan berevolusi agar membuat diri mereka resisten terhadap agen anti-bakteri.
Dua kelompok riset yang bekerja secara independen telah hadir dengan dua cara yang berbeda dalam menggunakan seluruh pengurutan genom untuk mengikuti jalur yang digunakan bakteri dalam mengembangkan resistensi terhadap obat anti-bakteri. Penelitian ini dapat berguna dalam mencari tahu cara untuk menghentikan proses evolusi tersebut, sehingga menjaga agen anti-bakteri saat ini bagi pasien-pasien di masa depan.
Kedua kelompok riset ini telah mempublikasikan makalah yang mendeskripsikan pekerjaan mereka dalam jurnal Nature Genetics. Kelompok riset pertama telah menemukan cara untuk benar-benar memantau evolusi bakteri E. coli selama beberapa generasi sebagaimana bakteri ini terkena tiga jenis agen anti-bakteri. Kelompok kedua telah menemukan cara untuk mengikuti mutasi pada bakteri yang terjadi setelah agen anti-bakteri sudah dihentikan.
Kelompok pertama, semuanya dari Harvard University, menciptakan apa yang mereka sebut “morbidostat”; lingkungan yang dikendalikan komputer, yang membaca tanda-tanda sebuah kultur bakteri untuk menilai derajat kebahagiaan dengan sekitarnya, lalu sedikit memodifikasinya sehingga membuatnya tidak bahagia. Bakteri yang bahagia tidak perlu beradaptasi, sehingga, menyebabkan mereka berevolusi, tiga jenis agen anti-bakteri dipaparkan ke dalam morbidostat, yaitu chloramphenicol, doxycyclin, dan trimethoprim.
Untuk melihat perubahan evolusioner yang terjadi, tim riset mengambil sampel secara reguler dan mempelajarinya dengan menggunakan keseluruhan pengurutan genom. Dengan menggunakan teknik ini, tim riset benar-benar mampu menyaksikan bakteri berevolusi ke arah strain yang resisten. Tapi sebagai catatan khusus, mereka menemukan bahwa, setidaknya jika terkena trimethoprim, Escherichia coli berevolusi dengan cara yang sangat bisa diprediksi, sedikit pengetahuan yang dapat membantu dokter berada satu langkah ke depan untuk mengetahui perubahan tersebut ketika merawat pasien, dengan memprediksinya sebelum terjadi.
Yang sama menariknya adalah studi yang dilakukan oleh kelompok kedua, sebuah tim yang terdiri dari para peneliti internasional. Di sini, tim riset ingin mengetahui apa yang terjadi dengan bakteri yang telah dipaparkan agen anti-bakteri, setelah pengobatan dihentikan. Apakah mereka berhenti berevolusi, atau apakah mereka terus berevolusi sebagai sarana dalam menanggapi efek dari obat?
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bakteri yang paling sering resisten terhadap obat untuk beberapa alasan tidak bertumbuh secepat mereka yang tidak resisten ketika berada dalam lingkungan yang bebas antibiotik. Artinya, strain resistennya pastilah memiliki tingkat transmisi yang lebih rendah. Sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi karena beberapa strain resisten milik beberapa jenis bakteri telah menunjukkan kemampuan transmisi yang sama cepatnya dengan mereka yang non-resisten. Untuk mengetahui mengapa hal ini bisa terjadi, tim menganalisis kedua jenis strain tersebut dengan menggunakan keseluruhan pengurutan genom untuk mencari tahu persis apa yang terjadi dengan strain M. tuberculosis yang berbeda.
Tim riset menemukan bahwa strain mereka yang resisten dan mampu mentransmisi pada tingkat yang sama dengan kelompok non-resisten telah mengembangkan dua jenis mutasi. Yang pertama adalah perubahan yang membuat mereka resisten. Perubahan kedua cukup mengejutkan; sampel bakteri ini benar-benar berevolusi dalam cara yang memungkinkan mereka memperoleh kembali tingkat transmisi yang tinggi, yang menunjukkan bahwa mereka terus berevolusi setelah obat anti-bakteri itu dihentikan untuk memperoleh kembali sesuatu yang telah hilang karena obat.
Secara keseluruhan, kedua studi ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan keseluruhan pengurutan genom, para peneliti bergerak semakin dekat untuk sepenuhnya memahami bagaimana bakteri bermutasi dan berevolusi agar membuat diri mereka resisten terhadap agen anti-bakteri. Harapannya, setelah seluruh proses sepenuhnya dipahami, cara baru untuk mencegah hal itu dapat dikembangkan.


Kredit: Harvard University
Jurnal: IƱaki Comas, Sonia Borrell, Andreas Roetzer, Graham Rose, Bijaya Malla, Midori Kato-Maeda, James Galagan, Stefan Niemann, Sebastien Gagneux. Whole-genome sequencing of rifampicin-resistant Mycobacterium tuberculosis strains identifies compensatory mutations in RNA polymerase genes. Nature Genetics, 18 December 2011. DOI: 10.1038/ng.1038
Erdal Toprak, Adrian Veres, Jean-Baptiste Michel, Remy Chait, Daniel L Hartl, Roy Kishony. Evolutionary paths to antibiotic resistance under dynamically sustained drug selection. Nature Genetics, 18 December 2011. DOI: 10.1038/ng.1034

Alat Baru untuk Membuang Logam Berat dari Air

Para insinyur di Universitas Brown mengembangkan sebuah system yang dengan bersih dan efisien membuang logam berat jejak dari air. Dalam eksperimen, para peneliti menunjukkan kalau system ini mengurangi konsentrasi cadmium, tembaga, dan nikel, mengembalikan air yang tercemar ke dekat atau di bawah standar yang diterima.
Hasil penelitian mereka tampil dalam   Chemical Engineering Journal.
Sebuah konsekuensi buruk dari banyak praktek industry dan manufaktur, dari pabrik tekstil hingga operasi kerja logam, adalah pelepasan logam berat ke jalan air. Logam tersebut dapat bertahan selama berpuluh tahun, bahkan abad, dalam konsentrasi rendah namun tetap berbahaya.
 Membuang logam jejak dari air “sangat sulit dilakukan,” kata  Joseph Calo, professor emeritus teknik yang merawat sebuah laboratorium aktif di Brown. Ia mencatat biaya, inefisiensi, dan waktu yang dibutuhkan untuk usaha tersebut. “Seperti mengembalikan jin ke botolnya.”
Itu menantang. Calo dan insinyur lain di Brown menemukan sebuah metode baru yang menyaring logam berat jejak di air dengan meningkatkan konsentrasi mereka sehingga teknik pembuangan logam yang terbukti dapat mengambil alih. Dalam sederetan eksperimen, para insinyur melaporkan metode yang mereka sebut system presipitasi elektrowinning siklis – cyclic electrowinning/precipitation (CEP), mampu membuang 99 persen tembaga, cadmium, dan nikel, menyisakan air yang tercemar berada di standar kebersihan yang diterima. System CEP otomatis dapat diperluas pula, kata Calo, sehingga dapat memiliki potensi komersil, khususnya dalam remediasi lingkungan dan bidang pemulihan logam. Mekanika dan hasil dari system tersebut dijelaskan dalam sebuah paper yang diterbitkan dalam   Chemical Engineering Journal.
Sebuah teknik yang telah terbukti membuang logam berat dari air lewat reduksi ion logam berat dari sebuah elektrolit. Sementara teknik tersebut punya banyak nama, seperti elektrowinning, pemulihan/pembuangan elektrolit atau elektroekstraksi, semuanya bekerja sama, dengan menggunakan arus listrik untuk mengubah ion logam bermuatan positif (kation) menjadi stabil dalam keadaan padat sehingga mereka dengan mudah dapat dipisahkan dari air. Masalah utama dalam teknik ini adalah kation logam yang ada harus dalam konsentrasi tinggi di air agar dapat efektif; jika konsentrasi kation terlalu rendah – kurang dari 100 bagian per juta – efisiensi menjadi begitu rendah dan arus bekerja pada lebih dari sekedar ion logam berat.
 Cara lain untuk membuang logam adalah lewat kimia sederhana. Teknik ini melibatkan pemakaian hidroksida dan sulfide untuk menyublimkan ion logam dari air, sehingga membentuk padatan. Padatan ini, walau begitu, memiliki lumpur beracun, dan karenanya tidak ada cara baik untuk menanganinya. Penguburan di tanah pada umumnya tidak akan menghilangkannya, dan hanya membiarkannya diam dalam tangki penenang juga memberi potensi racun dan berbahaya secara lingkungan. “Tidak ada yang mau seperti itu, karena liabilitasnya tinggi,” kata Calo.
 Dilemanya sekarang adalah bagaimana membuang logam secara efisien tanpa menciptakan limbah berbahaya. Calo dan rekan-rekannya, peneliti pasca doctoral  Pengpeng Grimshaw dan George Hradil, yang meraih gelar doctor di Brown dan sekarang ajung professor, menggabungkan kedua teknik untuk membentuk system loop tertutup. “Kami mengatakan ‘mari gunakan tampilan menarik dari kedua metode dengan menggabungkannya dalam sebuah proses siklis,’” kata Calo.
 Perlu beberapa tahun untuk membangun dan mengembangkan sistemnya. Dalam makalah ini, para pengarang menjelaskan bagaimana ia bekerja. System CEP melibatkan dua unit utama, satu untuk mengkonsentrasi kation dan lainnya untuk mengubahnya menjadi logam padat stabil dan membuangnya. Dalam tahap pertama, air berbeban logam dimasukkan dalam sebuah tangki dengan asam (asam sulfat) atau basa (natrium hidroksida) ditambahkan untuk mengubah pH air, secara efektif memisahkan molekul air dari subliman logam, yang tenang di dasar. Air “jernih” ditarik, dan lebih banyak air tercemar dimasukkan. Pengayunan pH dilakukan lagi, pertama dengan menguraikan subliman dan kemudian kembali menyublimkan semua logam, meningkatkan konsentrasi logam setiap siklus. Proses ini terus berulang hingga konsentrasi kation logam dalam larutan mencapai titik dimana elektrowinning dapat diterapkan secara efisien.
Ketika titik tersebut tercapai, larutan dikirim ke alat kedua, yang disebut elektroda partikulat semburan (spouted particulate electrode – SPE). Disinilah dimana elektrowinning terjadi, dan kation logam secara kimia diubah menjadi padatan logam stabil sehingga dapat dibuang dengan mudah. Para insinyur menggunakan SPE yang dikembangkan oleh Hradil, seorang insinyur penelitian senior di   Technic Inc., berlokasi di Cranston, R.I. Air bersih dikembalikan ke tangki penyubliman, dimana ion logam dapat disublimkan sekali lagi. Setelah pembersihan lanjutan, air supernatant dikirim ke reservoir lain, dimana proses tambahan dilakukan untuk menurunkan tingkat konsentrasi ion logam. Proses ini dapat diulang secara otomatis dan siklis sejumlah yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan, seperti standar air minum Negara.
 Dalam eksperimen, para insinyur menguji system CEP dengan cadmium, tembaga, dan nikel secara individual dan dengan air yang mengandung ketiga logam. Hasilnya menunjukkan kalau cadmium, tembaga, dan nikel direndahkan hingga 1,50;0,23; dan 0,37 bagian per juta (bpj) – dekat atau dibawah ambang cemar maksimum yang dibolehkan Dinas Perlindungan Lingkungan AS. Lumpur terus terbentuk dan terurai dalam system sehingga tidak ada yang tersisa sebagai pencemar lingkungan.
 “Pendekatan ini menghasilkan reduksi volume sangat besar dari air tercemar awalnya dengan reduksi elektrokimia ion menuju logam nol-valen pada permukaan partikel katodik,” tulis para pengarang. “Untuk konsentrasi ion awal 10 bpj, reduksi volumenya berada dalam ordo satu juta.”
 Calo mengatakan kalau pendekatan ini dapat dipakai untuk logam berat lain seperti timbal, raksa, dan timah. Para peneliti saat ini mencobakan system dengan sampel yang tercemar logam berat dan zat lain, seperti endapan, untuk mengkonfirmasi operasinya.
 Para peneliti didanai oleh   National Institute of Environmental Health Sciences, sebuah cabang dari   National Institutes of Health, lewat program Brown University Superfund Research.
Sumber berita:

Referensi jurnal:
Pengpeng Grimshaw, Joseph M. Calo, George Hradil. Cyclic electrowinning/precipitation (CEP) system for the removal of heavy metal mixtures from aqueous solutions. Chemical Engineering Journal, 2011; 175: 103 DOI:10.1016/j.cej.2011.09.062


Daftar Aktor Terpopuler di Internet Tahun 2011

Pada tahun 2010 Johnny Depp merupakan aktor terpopuler di internet. Tahun ini siapa?
Untuk tahun ini Natalie Portman menarik banyak view di IMDb.com dan aplikasi format mobile. Membuatnya menduduki posisi nomor satu di daftar 10 besar artis di Internet Movie Database (IMDb) pada 2011. Demikian seperti yang dikutip dari Mashable.
"Tahun ini Natalie Portman telah memenangkan penghargaan Best Actress Oscar untuk filmnya Black Swan. Selain itu ia juga membintangi film No String Attached, Your Highness dan Thor," kata Keith Simanton, managing editor dari IMDb.
Berikut adalah daftar 10 besar artis teratas versi IMDb:
1. Natalie Portman
2. Mila Kunis
3. Johnny Depp
4. Emma Stone
5. Chris Hemsworth
6. Olivia Wilde
7. Jennifer Lawrence
8. George Clooney
9. Ryan Gosling
10. Christian Bale
IMDb membuat daftar ini berdasarkan pada pageview di situs mereka. Dalam waktu dua tahun terakhir, IMDb telah mulai menawarkan layanannya melalui aplikasi mobile.
Kini daftar peringkat IMDb juga dihitung melalui aplikasi mobile, yang juga dikombinasikan dengan jumlah pengunjung situs mereka yang umumnya mencapai 110 juta pengunjung tiap bulannya
 

Rabu, Desember 14, 2011

Rebung, Tanaman Mini Kaya manfaat

Rebung merupakan salah satu bahan makanan yang cukup populer di masyarakat. Rebung merupakan tunas muda tanaman bambu yang muncul di permukaan dasar rumpun. Tunas bambu muda tersebut enak dimakan, sehingga digolongkan ke dalam sayuran. Rebung biasanya dibuang kelopaknya, diiris-iris kemudian diolah dengan cara dikukus atau direbus. Rebung yang sering dikenal dengan nama bung (bahasa Jawa), oleh masyarakat pedesaan sudah sejak zaman dahulu dimanfaatkan sebagai bahan masakan, terutama untuk dibuat sayur. Dalam bahasa Inggris, rebung dkenal dengan sebutan bamboo shoot. Morfologi rebung itu sendiri berbentuk kerucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi warnanya cokelat.
Menurut klasifikasi botani, tanaman bambu termasuk kelas Monocotyle doneae, ordo Graminales, subfamili Dendrocalamae, genus Dendrocalamus, spesies Dendrocalamus asper. Dalam pertumbuhannya, rebung tersebut akan berubah menjadi tanaman bambu lengkap dalam waktu 2-4 bulan. Sehingga, ketika kita akan memanfaatkan rebung tersebut sebagai bahan sayuran, sebaiknya melakukan panen rebung sebelum tumbuhan tersebut berubah menjadi tanaman bambu dewasa. Karena biasanya rebung yang diambil adalah rebung yang tidak bisa tumbuh dewasa. Masyarakat khususnya di pedesaan sudah paham jenis rebung yang tidak bisa tumbuh dewasa, sehingga harus dipanen ketika muda.
Untuk memperoleh rebung dari rumpun bambu tidaklah sulit. Dengan menggunakan pisau, sabit, atau alat lain, rebung dapat dipotong pada bagian pangkalnya. Setelah itu, kemudian rebung dikupas untuk dibuang glugutnya. Setelah bersih, rebung kemudian dipotong-potong kecil sesuai selera. Di pasaran, rebung dijual dalam dua bentuk, yaitu bentuk utuh dan bentuk irisan-irisan tipis. Selain murah, rebung juga mudah didapat, di pasar tradisional maupun swalayan. Saat hendak dimasak atau diolah, rebung sebaiknya direbus menggunakan air garam agar bau pesingnya hilang.
Namun yang menjadi perhatian adalah tidak semua jenis bambu memiliki rebung yang enak dimakan. Beberapa jenis bambu memiliki rebung yang rasanya pahit ketika dimakan. Bambu jenis apus (pring apus dalam bahasa Jawa) merupakan salah satu janis bambu yang tidak dapat diolah menjadi masakan, karena rasanya pahit. Jenis rebung yang memiliki cita rasa enak adalah rebung kuning, rampal/ suling, ori, dan ater. Rebung dari bambu betung memiliki rasa paling enak. Rebung betung berwarna merah cokelat dan subang (ujung kelopak) pada ujung rebung berwarna ungu.
Senyawa utama di dalam rebung mentah adalah air, yaitu sekitar 91%. Disamping itu, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin A, thiamin, riboflavin, vitamin C, serta mineral lain seperti kalsium, fosfor, besi, dan kalium. Kandungan kalium yang terdapat pada rebung cukup tinggi. Kadar kalium per 100 gram rebung adalah 533 mg. Makanan yang sarat kalium, yaitu minimal 400 mg, dapat mengurangi risiko stroke. Peran kalium mirip dengan natrium, yaitu bersama-sama dengan klorida, membantu menjaga tekanan osmotik dan keseimbangan asam basa. Kalium menjaga tekanan osmotik dalam cairan intraseluler, dan sebagian terikat dengan protein. Kalium juga membantu mengaktivasi reaksi enzim. Gejala kekurangan kalium biasanya berupa pelunakan otot.
Selain kandungan kaliumnya yang cukup tinggi, kandungan serat pangan pada rebung juga cukup baik. Kandungan serat pangan pada rebung adalah 2,56 % lebih tinggi dibandingkan jenis sayuran tropis lainnya, seperti kecambah kedelai (1,27 %), pecay (1,58 %), ketimun (0,61 %), dan sawi (1,01 %). Serat pangan (dietary fiber) sempat cukup lama diabaikan sebagai faktor penting dalam gizi manusia karena tidak menghasilkan energi.
Sebagian masyarakat percaya bahwa tanaman rebung memiliki khasiat yang bermanfaat bagi tubuh meskipun belum ada bukti ilmiah yang menerangkan hal tersebut. Pada pengobatan tradisional, rebung kuning diyakini dapat digunakan untuk mengobati penyakit sirosis hati. Rebung juga telah digunakan untuk mengobati penyakit batuk berdahak dan demam. Manfaat lain yang ada pada rebung adalah sebagai bahan pencampur sayuran dalam masakan lainnya. Banyak masakan eksotik yang diolah dari rebung, seperti: lumpia semarang, oseng-oseng khas probolinggo, sayur ketupat bojonegoro, serta gulai santan. Rebung juga sering dibuat menjadi asinan maupun dibuat acar, yang sangat enak untuk dijadikan bahan camilan.

dikutip dari bisnisukm.com