Kedua studi ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan keseluruhan
pengurutan genom, para peneliti bergerak semakin dekat untuk sepenuhnya
memahami bagaimana bakteri bermutasi dan berevolusi agar membuat diri
mereka resisten terhadap agen anti-bakteri.
Dua kelompok riset yang bekerja secara independen telah hadir dengan
dua cara yang berbeda dalam menggunakan seluruh pengurutan genom untuk
mengikuti jalur yang digunakan bakteri dalam mengembangkan resistensi
terhadap obat anti-bakteri. Penelitian ini dapat berguna dalam mencari
tahu cara untuk menghentikan proses evolusi tersebut, sehingga menjaga agen anti-bakteri saat ini bagi pasien-pasien di masa depan.
Kedua kelompok riset ini telah mempublikasikan makalah yang mendeskripsikan pekerjaan mereka dalam jurnal Nature Genetics. Kelompok riset pertama telah menemukan cara untuk benar-benar memantau evolusi bakteri E. coli
selama beberapa generasi sebagaimana bakteri ini terkena tiga jenis
agen anti-bakteri. Kelompok kedua telah menemukan cara untuk mengikuti mutasi pada bakteri yang terjadi setelah agen anti-bakteri sudah dihentikan.
Kelompok
pertama, semuanya dari Harvard University, menciptakan apa yang mereka
sebut “morbidostat”; lingkungan yang dikendalikan komputer, yang membaca
tanda-tanda sebuah kultur bakteri untuk menilai derajat kebahagiaan
dengan sekitarnya, lalu sedikit memodifikasinya sehingga membuatnya
tidak bahagia. Bakteri yang bahagia tidak perlu beradaptasi, sehingga,
menyebabkan mereka berevolusi, tiga jenis agen anti-bakteri dipaparkan
ke dalam morbidostat, yaitu chloramphenicol, doxycyclin, dan trimethoprim.
Untuk
melihat perubahan evolusioner yang terjadi, tim riset mengambil sampel
secara reguler dan mempelajarinya dengan menggunakan keseluruhan
pengurutan genom. Dengan menggunakan teknik ini, tim riset benar-benar
mampu menyaksikan bakteri berevolusi ke arah strain yang resisten. Tapi
sebagai catatan khusus, mereka menemukan bahwa, setidaknya jika terkena trimethoprim, Escherichia coli
berevolusi dengan cara yang sangat bisa diprediksi, sedikit pengetahuan
yang dapat membantu dokter berada satu langkah ke depan untuk
mengetahui perubahan tersebut ketika merawat pasien, dengan
memprediksinya sebelum terjadi.
Yang sama menariknya adalah studi
yang dilakukan oleh kelompok kedua, sebuah tim yang terdiri dari para
peneliti internasional. Di sini, tim riset ingin mengetahui apa yang
terjadi dengan bakteri yang telah dipaparkan agen anti-bakteri, setelah
pengobatan dihentikan. Apakah mereka berhenti berevolusi, atau apakah
mereka terus berevolusi sebagai sarana dalam menanggapi efek dari obat?
Penelitian
sebelumnya telah menunjukkan bahwa bakteri yang paling sering resisten
terhadap obat untuk beberapa alasan tidak bertumbuh secepat mereka yang
tidak resisten ketika berada dalam lingkungan yang bebas antibiotik.
Artinya, strain resistennya pastilah memiliki tingkat transmisi yang
lebih rendah. Sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi karena beberapa
strain resisten milik beberapa jenis bakteri telah menunjukkan kemampuan
transmisi yang sama cepatnya dengan mereka yang non-resisten. Untuk
mengetahui mengapa hal ini bisa terjadi, tim menganalisis kedua jenis
strain tersebut dengan menggunakan keseluruhan pengurutan genom untuk
mencari tahu persis apa yang terjadi dengan strain M. tuberculosis yang berbeda.
Tim
riset menemukan bahwa strain mereka yang resisten dan mampu
mentransmisi pada tingkat yang sama dengan kelompok non-resisten telah
mengembangkan dua jenis mutasi. Yang pertama adalah perubahan
yang membuat mereka resisten. Perubahan kedua cukup mengejutkan; sampel
bakteri ini benar-benar berevolusi dalam cara yang memungkinkan mereka
memperoleh kembali tingkat transmisi yang tinggi, yang menunjukkan bahwa
mereka terus berevolusi setelah obat anti-bakteri itu dihentikan untuk
memperoleh kembali sesuatu yang telah hilang karena obat.
Secara
keseluruhan, kedua studi ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan
keseluruhan pengurutan genom, para peneliti bergerak semakin dekat untuk
sepenuhnya memahami bagaimana bakteri bermutasi dan berevolusi agar
membuat diri mereka resisten terhadap agen anti-bakteri. Harapannya,
setelah seluruh proses sepenuhnya dipahami, cara baru untuk mencegah hal
itu dapat dikembangkan.
Kredit: Harvard University
Jurnal: IƱaki Comas, Sonia Borrell, Andreas Roetzer, Graham Rose, Bijaya Malla, Midori Kato-Maeda, James Galagan, Stefan Niemann, Sebastien Gagneux. Whole-genome sequencing of rifampicin-resistant Mycobacterium tuberculosis strains identifies compensatory mutations in RNA polymerase genes. Nature Genetics, 18 December 2011. DOI: 10.1038/ng.1038
Erdal Toprak, Adrian Veres, Jean-Baptiste Michel, Remy Chait, Daniel L Hartl, Roy Kishony. Evolutionary paths to antibiotic resistance under dynamically sustained drug selection. Nature Genetics, 18 December 2011. DOI: 10.1038/ng.1034
Jurnal: IƱaki Comas, Sonia Borrell, Andreas Roetzer, Graham Rose, Bijaya Malla, Midori Kato-Maeda, James Galagan, Stefan Niemann, Sebastien Gagneux. Whole-genome sequencing of rifampicin-resistant Mycobacterium tuberculosis strains identifies compensatory mutations in RNA polymerase genes. Nature Genetics, 18 December 2011. DOI: 10.1038/ng.1038
Erdal Toprak, Adrian Veres, Jean-Baptiste Michel, Remy Chait, Daniel L Hartl, Roy Kishony. Evolutionary paths to antibiotic resistance under dynamically sustained drug selection. Nature Genetics, 18 December 2011. DOI: 10.1038/ng.1034
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini