"Punahnya spesies liar di bumi akan berbahaya bagi ekosistem dunia dan bisa membahayakan masyarakat dengan berkurangnya layanan ekosistem yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia."
Dua puluh tahun setelah KTT Bumi di Rio de Janeiro, 17 ahli ekologi
terkemuka menyerukan upaya internasional untuk menekan hilangnya
keanekaragaman hayati, yang mengorbankan kemampuan alam untuk
menyediakan barang dan jasa yang penting bagi kesejahteraan manusia.
Selama
dua dekade terakhir, bukti ilmiah yang kuat telah menunjukkan bahwa
hilangnya keanekaragaman hayati di dunia mengurangi produktivitas dan
keberlanjutan ekosistem alam serta mengurangi kemampuannya dalam
menyediakan barang dan jasa seperti makanan, kayu, pakan ternak, tanah
subur, serta perlindungan dari hama dan penyakit, demikian menurut tim
internasional yang dipimpin ahli ekologi Bradley Cardinale
dari University Michigan.
Tindakan-tindakan manusia telah memporak-porandakan ekosistem alam di bumi, mengakibatkan kepunahan
spesies dalam tingkat beberapa kali lipat lebih cepat dari yang pernah
teramati dalam catatan fosil. Meskipun demikian, masih ada waktu – jika
negara-negara di dunia membuat prioritas internasional pelestarian
keanekaragaman hayati – untuk menyelamatkan berbagai spesies yang masih
hidup dan untuk mengembalikan sebagian dari apa yang telah hilang,
demikian menurut Cardinale dan rekan-rekannya.
Para peneliti mempresentasikan temuan mereka pada jurnal Nature
edisi 7 Juni, dalam sebuah artikel berjudul “Hilangnya Keanekaragaman
Hayati dan Dampaknya terhadap Kemanusiaan.” Makalah ini merupakan
pernyataan konsensus ilmiah yang merangkum bukti-bukti dari 1.000 lebih
studi ekologi selama dua dekade terakhir.
“Seperti
halnya pernyataan konsensus dari para dokter dengan peringatan publiknya
tentang bahaya penggunaan tembakau bagi kesehatan, ini adalah
pernyataan konsensus dari para ahli yang sepakat bahwa punahnya spesies
liar di bumi akan berbahaya bagi ekosistem dunia dan bisa membahayakan
masyarakat dengan berkurangnya layanan ekosistem yang penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan manusia,” kata Cardinale, seorang profesor
di Sekolah Sumber Daya Alam dan Lingkungan serta di Departemen Ekologi
dan Biologi Evolusioner UM.
“Kita
harus menanggapi hilangnya keanekaragaman hayati dengan jauh lebih
serius – dari individu-individu hingga badan-badan internasional – dan
mengambil tindakan yang lebih besar untuk mencegah kepunahan spesies
lebih lanjut,” kata Cardinale, penulis pertama dalam makalah Nature.
Diperkirakan ada sekitar 9 juta spesies tumbuhan, hewan, protista dan jamur yang menghuni bumi, berbagi dengan sekitar 7 miliar manusia.
Himbauan
untuk bertindak diserukan di saat-saat para pemimpin internasional
mempersiapkan diri untuk berkumpul di Rio de Janeiro pada tanggal 20-22
Juni untuk menghadiri Konferensi PBB mengenai Pembangunan Berkelanjutan,
yang dikenal sebagai Konferensi Rio +20. Konferensi mendatang ini
menandai 20 Tahun KTT Bumi 1992 di Rio yang menghasilkan dukungan dari
193 negara terhadap tujuan-tujuan Konvensi pada Keanekaragaman Hayati
berupa konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam
secara berkelanjutan.
KTT Bumi 1992 yang didorong oleh besarnya
minat untuk memahami tentang hilangnya keanekaragaman hayati mungkin
berdampak pada dinamika dan pemfungsian ekosistem, begitu pula pada
penyediaan barang dan jasa yang berharga bagi masyarakat. Dalam makalah Nature,
Cardinale dan para kolega meninjau studi-studi terkait yang sudah
dipublikasikan dan membuat daftar enam pernyataan konsensus, empat
kecenderungan yang muncul serta empat pernyataan “keseimbangan bukti”.
Keseimbangan
bukti menunjukkan, misalnya, bahwa keragaman genetik meningkatkan hasil
panen tanaman komersial, meningkatkan produksi kayu di hutan,
meningkatkan produksi pakan ternak di padang rumput, serta meningkatkan
stabilitas hasil panen pada perikanan. Meningkatnya keanekaragaman
tumbuhan juga menghasilkan resistensi yang lebih besar terhadap invasi,
menghambat patogen tanaman seperti infeksi jamur dan virus, meningkatkan
penyerapan karbon di di udara melalui penyempurnaan biomassa, serta
meningkatkan remineralisasi nutrisi dan bahan organik tanah.
“Tak
akan ada yang setuju dengan apa yang akan terjadi jika ekosistem
kehilangan spesies, namun kebanyakan dari kita setuju bahwa itu tidak
akan menjadi baik. Dan kita setuju bahwa jika ekosistem kehilangan
sebagian besar spesiesnya, maka itu akan menjadi bencana,” kata Shahid
Naeem dari Universitas Columbia, salah satu penulis pendamping dalam
makalah Nature. “Dua puluh tahun dan seribu studi kemudian, apa
dipikir benar oleh dunia dalam pertemuan di Rio pada tahun 1992
akhirnya telah terbukti: Keanekaragaman hayati mendasari kemampuan kita
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.”
Meskipun terdapat
dukungan luas terhadap Konvensi pada Keanekaragaman Hayati, namun
hilangnya keanekaragaman hayati terus berlangsung selama dua dekade
terakhir, bahkan seringkali dengan tingkat yang menanjak. Sebagai
responnya, satu set tujuan baru pelestarian keanekaragaman untuk tahun
2020, yang dikenal sebagai target Aichi, baru-baru telah dirumuskan.
Juga, sebuah badan internasional baru yang disebut Panel Antarpemerintah
tentang Keanekaragaman Hayati dan Jasa Ekosistem telah dibentuk pada
bulan April 2012 untuk memandu respon global terhadap pengelolaan
keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia.
Kesenjangan yang
signifikan dalam ilmu pengetahuan di balik keanekaragaman hayati masih
tetap ada dan harus diatasi apabila target Aichi harus dipenuhi, kata
Cardinale dan para kolega dalam makalah Nature.
“Beberapa
pertanyaan kunci yang kami uraikan dapat membantu menunjukkan jalan
bagi penelitian generasi berikutnya tentang bagaimana perubahan
keanekaragaman hayati mempengaruhi kesejahteraan manusia,” kata David
Hooper dari Universitas Western Washington, salah satu penulis
pendamping studi.
Tanpa adanya pemahaman tentang proses ekologis
mendasar yang menghubungkan keanekaragaman hayati, fungsi dan jasa
ekosistem, maka upaya untuk meramalkan konsekuensi sosial akibat
hilangnya keragaman, dan untuk memenuhi tujuan kebijakan, akan cenderung
gagal, demikian menurut 17 ahli ekologi.
“Tapi dengan adanya
pemahaman yang mendasar dalam genggaman, kita mungkin bisa membawa era
modern hilangnya keanekaragaman hayati ke arah jalur yang aman bagi
kemanusiaan,” simpul mereka.
Selain Cardinale, Naeem dan Hooper, penulis pendamping dalam makalah Nature
ini adalah J. Emmett Duffy dari The College of William and Mary, Andrew
Gonzalez dari Universitas McGill, Charles Perrings dan Ann Kinzig dari
Universitas Arizona, Patrick Venail dan Anita Narwani dari Sekolah
Sumber Daya Alam dan Lingkungan UM; Georgina Mace dari Imperial College
London, David Tilman dari Universitas Minnesota, David Wardle dari
Universitas Ilmu Pertanian Swedia; Gretchen Daily dari Universitas
Stanford, Michel Loreau dari Pusat Nasional de la Recherche Scientifique
di Moulis, Perancis, James Grace dari US Geological Survey; Anne
Larigauderie dari Museum Nasional d’Histoire Naturelle di Rue Cuvier,
Perancis, serta Diane Srivastava dari Universitas British Columbia.
Penelitian
ini memperoleh pendanaan dari National Science Foundation dan dari
University of California-Santa Barbara dan negara bagian California.
“Kemurnian
air, produksi pangan dan kualitas udara bisa mudah untuk digunakan
begitu saja, namun semua itu sebagian besar disediakan oleh komunitas
organisme,” kata George Gilchrist, direktur program di Divisi Biologi
Lingkungan National Science Foundation, yang mendanai penelitian.
“Makalah ini menunjukkan bahwa bukan hanya jumlah makhluk hidup, tetapi
juga keanekaragaman hayati spesies, genetik dan sifat mereka yang
mempengaruhi ketersediaan berbagai ‘jasa ekosistem’ yang penting.”
faktailmiah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini