Selasa, Oktober 04, 2011

Evolusi Quaking Aspen part 2

Salah satu alasan untuk membedakan ontologi sebuah klon terfragmen (klon pemecah) dari yang terintegrasi kohesif (integrator permanen) adalah bahwa mereka sepertinya memiliki nasib evolusi yang berbeda – walaupun mereka mungkin mendiami daerah permukaan yang sama dan karenanya lingkungan selektif yang sama. Genet terintegrasi dapat mengirimkan ramet dalam daerah yang lebih kompetitif (yaitu vegetasi tebal): nutrisi dari ramet penjelajah ini diwariskan dari sang ibu. Sebuah klon pembelah tidak sesukses ramet baru, karena benih baru hanya memiliki nutrisi yang dapat diakses sistem akar masing-masing ramet individual baru. Sebagian ilmuan telah benar-benar menguji hipotesis kalau biaya integrasi yang tinggi menjadi kendala dengan cara ini. Sebuah klon terintegrasi, sebagai organisme yang menggemuk selamanya, dapat merubah fenotipenya dengan tumbuh lebih cepat dalam lingkungan padat daripada populasi ramet-ramet terpecah mampu dan karenanya klon terintegrasi dapat mendiami lingkungan mikro baru dengan sumber daya baru. Ongkos dan keuntungan integrasi ramet telah dipelajari bertahun-tahun.
Menurut J.L. Harper tahun 1978, biaya integrasi ramet termasuk resiko kalau stress lokal dapat mempengaruhi keseluruhan klon, penyebaran penyakit lebih cepat, dst. Manfaat integrasi mencakup eksplorasi lingkungan baru yang lebih cepat, manfaat pada keseluruhan klon dalam kasus penjelajahan yang berhasil, realokasi sumberdaya, dsb.
Untuk menganggap klon yang terintegrasi sebagai populasi individu berarti menghapus perbedaan antara berbagai strategi evolusi. Namun untuk memahami perbedaan antara strategi-strategi evolusi ini, penjelasan sebab akibat mengenai individu (bukan deskripsi perubahan demografis seluruh populasi) diperlukan. Lagi pula, sejumlah ramet dapat mutlak sama sepanjang beberapa tahun, sementara arah adaptif akan menyebar dengan luas. Dalam pendekatan populasi pada evolusi, perubahan akan absen dari penjelasan, sementara ia akan menjadi pusat bila kita berfokus pada interaksi sebab akibat antara organisme dan lingkungannya.
Lalu bagaimana kita menjelaskan kebugaran (fitness) sebuah klon terintegrasi? Fokus studi Douglas E Gill dan  Timothy G. Halverson tahun 1984 adalah pada Hamamelis virginia L., namun sebagian besar kesimpulannya berlaku pada kasus Aspen kita. Mereka berusaha membuat kasus kalau percabangan individual pohon memiliki kebugaran individual dan bahwa kebugaran tersebut relevan dengan penjelasan evolusi kita. Gil dan Halverson menemukan tiga kriteria yang harus dipenuhi agar kasusnya sama:
  1. Harus ada variasi fenotipe signifikan dalam percabangan
  2. Bagian modular reproduksi atau keberlangsungan hidup berbeda harus ada
  3. Sifat yang mempertahankan kebugaran diferensial harus diwariskan
Tanaman Hamamelis virginiana

Pertama, perhatikan kalau dalam kriteria 2, kesuksesan adalah fungsi reproduksi atau keberlangsungan hidup. Gagasan kalau keberlangsungan hidup itu cukup akan berperan penting dalam argumen kita selanjutnya. Kedua, perhatikan kalau Gill dan Halverson menjelaskan percabangan sebagai bagian modular. Pandangan ini sangat dekat dengan yang dipertahankan Frederick Bouchard: kontribusi keturunan tidak diperlukan untuk mengukur kebugaran evolusioner, karena nasib komponen sudah cukup untuk mengukur adaptasi sebuah sistem.
Perlu diperhatikan kalau kriteria paling penting, kriteria warisan, tidak dipertahankan dengan eksplisit pada makalah mereka. Tanpa pertahanan demikian, argumen mereka gagal menunjukkan dengan meyakinkan bagaimana komponen-komponen dapat diseleksi untuk mendapat adaptasi. Namun, seperti dikatakan Bouchard, kasus analog pada quaking aspen dapat menunjukkan bagaimana Gil dan Halverson harus menjelaskan pewarisan dalam kasus evolusi pohon intragenerasi.
Masalah dengan perubahan intragenerasi adalah bahwa banyak konsep sentral memerlukan penyetelan. Bouchard telah membahas penumpukan perubahan kecil menunjukkan semacam pewarisan. Kembali ke seleksi fenotipe, dalam kasus pertumbuhan rumpun terdapat semacam pewarisan. Sebuah ramet (komponen rumpun) akan memiliki fenotipe mirip dengan fenotipe ramet asalnya daripada fenotipe ramet lain dalam rumpun, sebagian karena sebuah aspek signifikan dari fenotipe ramet adalah posisi spasialnya: posisi spasial sebuah ramet menentukan lingkungan mikro apa yang dapat ia jelajahi. Posisi spasial ini diwariskan antar ramet karena kendala fisik: sama halnya dengan apel yang tidak pernah jatuh jauh dari pohonnya, ramet anak hanya dapat tumbuh dalam radius tertentu dari ramet induk.
Rumpun Quaking Aspen

Posisi yang bagus berarti kalau ramet A memiliki kemungkinan bertahan hidup lebih tinggi, dan karena ramet yang akan dihasilkan ramet A hanya dapat menjauh dari ramet yang mendekatinya, ramet anak akan mewarisi posisi yang dekat dengan posisi induk semata lewat kendala fisik dan perkembangan. Gagasan kalau posisi spasial dapat menjadi bagian dari fenotipe dan diwariskan telah dijelaskan dalam konteks lain pada biologi, yaitu pewarisan ekologis, dan dalam beberapa proyek filsafat.
Posisi spasial adalah bagian dari fenotipe karena anda dapat memilih posisi sama halnya anda dapat memilih ketinggian. Bila posisi tersebut diwariskan pada generasi masa depan – atau dalam kasus rumput, diwariskan pada dirinya sendiri – maka kita memperoleh kasus dimana variasi fenotipe non genetik yang dapat dikenai seleksi alam dipilih dan diwariskan secara diferensial pada bagian-bagiannya, namun tidak secara genetik.
Sebuah rumpun yang memecah berbeda dari yang tidak, perbedaannya adalah ramet yang terpecah memiliki potensi menjadi ramet individu dengan nasib evolusi individual, sementara ramet dalam rumpun tidak terpecah hanyalah semata bagian dari rumpun, bagian dari sebuah genet.
Usaha paling berani untuk mengakomodasi reproduksi aseksual atau pertumbuhan klonal menggeser semantik dari keturunan ke istilah salinan, yang terbaca sedikit lebih netral. Namun bila salinan adalah geseran semantik yang diterima, kenapa tidak bergerak lebih jauh dengan memuat bagian atau komponen saja?
Seperti kita telah lihat dalam kasus seperti quaking aspen, mungkin lebih membantu setidaknya bagi sebagian organisme untuk menyingkirkan istilah keturunan/salinan, dan menggunakan gagasan bagian dari organisme tunggal, dan ketika memeriksa pertanyaan tentang bagian-bagian, pertanyaan mengenai bagaimana mereka berkontribusi bagi ketangguhan keseluruhan sistem menjadi penting. Bouchard telah berargumen kalau yang kita perlukan adalah pendekatan ketangguhan, bukannya pendekatan reproduksi, untuk memahami evolusi sebagian tanaman, namun cara berpikir ini dapat membantu kita lebih menghargai evolusi spesies serangga sosial dan masyarakat simbiotik pula.

Sumber
Bouchard, Fre´de´ric (2008), Causal Processes, Fitness, and the Differential Persistence of Lineages. Philosophy of Science, 75 (December 2008) pp. 560–570. 0031-8248/2008/7505-0009$
Referensi
Gill, Douglas E., and Timothy G. Halverson (1984), “Fitness Variation among Branches within Trees”, in B. Shorrocks (ed.), Evolutionary Ecology: The 23rd Symposium of the British Ecological Society, Leeds, 1982. Oxford: Blackwell, 105–116.
Gough, Laura, Deborah E. Goldberg, Chad Hershock, Nijole Pauliukonis, and Martina Petru (2002), “Investigating the Community Consequences of Competition among Clonal Plants”, Evolutionary Ecology 15: 547–563.
Harper, J. L. (1978), “The Demography of Plants with Clonal Growth”, in A. H. J. Freysen and J. W. Woldendorp (eds.), Structure and Functioning of Plant Populations. Amsterdam: North-Holland, 27–48.
Mameli, Matteo (2004), “Nongenetic Selection and Nongenetic Inheritance”, British Journal for the Philosophy of Science 55 (1): 35–72.
Odling-Smee, F., K. N. Laland, and M. W. Feldman (2003), Niche Construction. Princeton, NJ: Princeton University Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini