Salah satu alasan untuk membedakan
ontologi sebuah klon terfragmen (klon pemecah) dari yang terintegrasi
kohesif (integrator permanen) adalah bahwa mereka sepertinya memiliki
nasib evolusi yang berbeda – walaupun mereka mungkin mendiami daerah
permukaan yang sama dan karenanya lingkungan selektif yang sama. Genet
terintegrasi dapat mengirimkan ramet dalam daerah yang lebih kompetitif
(yaitu vegetasi tebal): nutrisi dari ramet penjelajah
ini diwariskan dari sang ibu. Sebuah klon pembelah tidak sesukses ramet
baru, karena benih baru hanya memiliki nutrisi yang dapat diakses sistem
akar masing-masing ramet individual baru. Sebagian ilmuan telah
benar-benar menguji hipotesis kalau biaya integrasi yang tinggi menjadi
kendala dengan cara ini. Sebuah klon terintegrasi, sebagai organisme yang menggemuk
selamanya, dapat merubah fenotipenya dengan tumbuh lebih cepat dalam
lingkungan padat daripada populasi ramet-ramet terpecah mampu dan
karenanya klon terintegrasi dapat mendiami lingkungan mikro baru dengan
sumber daya baru. Ongkos dan keuntungan integrasi ramet telah dipelajari
bertahun-tahun.
Menurut J.L. Harper
tahun 1978, biaya integrasi ramet termasuk resiko kalau stress lokal
dapat mempengaruhi keseluruhan klon, penyebaran penyakit lebih cepat,
dst. Manfaat integrasi mencakup eksplorasi lingkungan baru yang lebih
cepat, manfaat pada keseluruhan klon dalam kasus penjelajahan yang
berhasil, realokasi sumberdaya, dsb.
Untuk
menganggap klon yang terintegrasi sebagai populasi individu berarti
menghapus perbedaan antara berbagai strategi evolusi. Namun untuk
memahami perbedaan antara strategi-strategi evolusi ini, penjelasan
sebab akibat mengenai individu (bukan deskripsi perubahan demografis
seluruh populasi) diperlukan. Lagi pula, sejumlah ramet dapat mutlak
sama sepanjang beberapa tahun, sementara arah adaptif akan menyebar
dengan luas. Dalam pendekatan populasi pada evolusi, perubahan akan
absen dari penjelasan, sementara ia akan menjadi pusat bila kita
berfokus pada interaksi sebab akibat antara organisme dan lingkungannya.
Lalu bagaimana kita menjelaskan kebugaran (fitness) sebuah klon terintegrasi? Fokus studi Douglas E Gill dan Timothy G. Halverson tahun 1984 adalah pada Hamamelis virginia L.,
namun sebagian besar kesimpulannya berlaku pada kasus Aspen kita.
Mereka berusaha membuat kasus kalau percabangan individual pohon
memiliki kebugaran individual dan bahwa kebugaran tersebut relevan
dengan penjelasan evolusi kita. Gil dan Halverson menemukan tiga
kriteria yang harus dipenuhi agar kasusnya sama:
- Harus ada variasi fenotipe signifikan dalam percabangan
- Bagian modular reproduksi atau keberlangsungan hidup berbeda harus ada
- Sifat yang mempertahankan kebugaran diferensial harus diwariskan
Pertama,
perhatikan kalau dalam kriteria 2, kesuksesan adalah fungsi reproduksi
atau keberlangsungan hidup. Gagasan kalau keberlangsungan hidup itu
cukup akan berperan penting dalam argumen kita selanjutnya. Kedua,
perhatikan kalau Gill dan Halverson menjelaskan percabangan sebagai
bagian modular. Pandangan ini sangat dekat dengan yang dipertahankan
Frederick Bouchard: kontribusi keturunan tidak diperlukan untuk mengukur
kebugaran evolusioner, karena nasib komponen sudah cukup untuk mengukur
adaptasi sebuah sistem.
Perlu
diperhatikan kalau kriteria paling penting, kriteria warisan, tidak
dipertahankan dengan eksplisit pada makalah mereka. Tanpa pertahanan
demikian, argumen mereka gagal menunjukkan dengan meyakinkan bagaimana
komponen-komponen dapat diseleksi untuk mendapat adaptasi. Namun,
seperti dikatakan Bouchard, kasus analog pada quaking aspen dapat
menunjukkan bagaimana Gil dan Halverson harus menjelaskan pewarisan
dalam kasus evolusi pohon intragenerasi.
Masalah
dengan perubahan intragenerasi adalah bahwa banyak konsep sentral
memerlukan penyetelan. Bouchard telah membahas penumpukan perubahan
kecil menunjukkan semacam pewarisan. Kembali ke seleksi fenotipe, dalam
kasus pertumbuhan rumpun terdapat semacam pewarisan. Sebuah ramet
(komponen rumpun) akan memiliki fenotipe mirip dengan fenotipe ramet
asalnya daripada fenotipe ramet lain dalam rumpun, sebagian karena
sebuah aspek signifikan dari fenotipe ramet adalah posisi spasialnya:
posisi spasial sebuah ramet menentukan lingkungan mikro apa yang dapat
ia jelajahi. Posisi spasial ini diwariskan antar ramet karena kendala
fisik: sama halnya dengan apel yang tidak pernah jatuh jauh dari
pohonnya, ramet anak hanya dapat tumbuh dalam radius tertentu dari ramet induk.
Posisi
yang bagus berarti kalau ramet A memiliki kemungkinan bertahan hidup
lebih tinggi, dan karena ramet yang akan dihasilkan ramet A hanya dapat
menjauh dari ramet yang mendekatinya, ramet anak akan mewarisi posisi
yang dekat dengan posisi induk semata lewat kendala fisik dan
perkembangan. Gagasan kalau posisi spasial dapat menjadi bagian dari
fenotipe dan diwariskan telah dijelaskan dalam konteks lain pada
biologi, yaitu pewarisan ekologis, dan dalam beberapa proyek filsafat.
Posisi
spasial adalah bagian dari fenotipe karena anda dapat memilih posisi
sama halnya anda dapat memilih ketinggian. Bila posisi tersebut
diwariskan pada generasi masa depan – atau dalam kasus rumput,
diwariskan pada dirinya sendiri – maka kita memperoleh kasus dimana
variasi fenotipe non genetik yang dapat dikenai seleksi alam dipilih dan diwariskan secara diferensial pada bagian-bagiannya, namun tidak secara genetik.
Sebuah
rumpun yang memecah berbeda dari yang tidak, perbedaannya adalah ramet
yang terpecah memiliki potensi menjadi ramet individu dengan nasib
evolusi individual, sementara ramet dalam rumpun tidak terpecah hanyalah
semata bagian dari rumpun, bagian dari sebuah genet.
Usaha
paling berani untuk mengakomodasi reproduksi aseksual atau pertumbuhan
klonal menggeser semantik dari keturunan ke istilah salinan, yang
terbaca sedikit lebih netral. Namun bila salinan adalah geseran semantik
yang diterima, kenapa tidak bergerak lebih jauh dengan memuat bagian
atau komponen saja?
Seperti kita telah
lihat dalam kasus seperti quaking aspen, mungkin lebih membantu
setidaknya bagi sebagian organisme untuk menyingkirkan istilah
keturunan/salinan, dan menggunakan gagasan bagian dari organisme
tunggal, dan ketika memeriksa pertanyaan tentang bagian-bagian,
pertanyaan mengenai bagaimana mereka berkontribusi bagi ketangguhan
keseluruhan sistem menjadi penting. Bouchard telah berargumen kalau yang
kita perlukan adalah pendekatan ketangguhan, bukannya pendekatan
reproduksi, untuk memahami evolusi sebagian tanaman, namun cara berpikir
ini dapat membantu kita lebih menghargai evolusi spesies serangga sosial dan masyarakat simbiotik pula.
Sumber
Bouchard,
Fre´de´ric (2008), Causal Processes, Fitness, and the Differential
Persistence of Lineages. Philosophy of Science, 75 (December 2008) pp.
560–570. 0031-8248/2008/7505-0009$
Referensi
Gill, Douglas E., and Timothy G. Halverson (1984), “Fitness Variation among Branches within Trees”, in B. Shorrocks (ed.), Evolutionary Ecology: The 23rd Symposium of the British Ecological Society, Leeds, 1982. Oxford: Blackwell, 105–116.
Gough,
Laura, Deborah E. Goldberg, Chad Hershock, Nijole Pauliukonis, and
Martina Petru (2002), “Investigating the Community Consequences of
Competition among Clonal Plants”, Evolutionary Ecology 15: 547–563.
Harper, J. L. (1978), “The Demography of Plants with Clonal Growth”, in A. H. J. Freysen and J. W. Woldendorp (eds.), Structure and Functioning of Plant Populations. Amsterdam: North-Holland, 27–48.
Mameli, Matteo (2004), “Nongenetic Selection and Nongenetic Inheritance”, British Journal for the Philosophy of Science 55 (1): 35–72.
Odling-Smee, F., K. N. Laland, and M. W. Feldman (2003), Niche Construction. Princeton, NJ: Princeton University Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini