Selasa, Oktober 04, 2011

Evolusi Quaking Aspen part 1

Quaking aspen adalah anggota keluarga willow. Ia dapat bereproduksi secara aseksual dan seksual. Quaking aspen mengubah pandangan kalau pohon tidak dapat melihat seluruh hutan. Apa yang tampak sebagai hutan dengan banyak pohon individual sebenarnya satu pohon klon raksasa dengan ‘cabang-cabang’ yang terlihat sebagai pohon individual namun sesungguhnya perpanjangan klon yang masih terhubung secara fungsional sebagai rumpun. Ukuran organisme ini relatif dengan pemahaman kita yang biasa mengenai pohon lain membuat kita tercengang. Klon/rumpun aspen terbesar diyakini ada di Utah. Michael C Grant (1993) menjelaskan rumpun yang ia namakan Pando (bahasa Latin untuk ‘Saya menyebar’) ini : “Tersusun dari 47 ribu tunggul pohon, masing-masing dengan perangkat pohon biasanya seperti daun dan cabang, Pando mencakup daerah seluas 106 akre dan beratnya melebihi 6.5 juta kg, membuatnya 15 kali lebih berat dari jamur Washington dan hampir 3 kali lebih berat dari Sequoia besar terbersar.”

Seperti Jeffrey B Mitton dan Michael C Grant (1996) catat, sebagian akar quaking aspen, Populus tremuloides, dapat mencapai usia lebih dari satu juta tahun. Apa yang lebih menarik lagi adalah siklus reproduksinya. Seperti dalam banyak tanaman, quaking aspen dapat bereproduksi seksual (dalam kasus aspen lewat biji) dan aseksual (lewat pembelahan sel, menciptakan pelari).
Aspek reproduksi seksual quaking aspen dilakukan dengan mengirim benihnya dan sesuai dengan pandangan umum teori evolusi. Secara teori aspen dapat berevolusi lewat kesuksesan reproduktif diferensial benih ini, namun seperti ditunjukkan Mitton dan Grant, mayoritas benihnya mati sebelum penyerbukan terutama karena kurangnya air dan sinar matahari yang tidak cukup. Quaking aspen sangat intoleran terhadap bayangan.
Kesuksesan aspen tergantung pada penyedotan dan tipe variasi yang ia sediakan. Penyedotan terjadi saat pertumbuhan klonal aspen. Setiap sistem akar batang dapat memunculkan apa yang disebut pelari atau penyedot di bawah tanah yang pada saatnya akan menusuk ke permukaan dan tumbuh sebagai batang baru di atas tanah. Menurut Grant, sebuah akar dapat berjalan 100 kaki sebelum muncul menjadi batang baru walaupun jarak tertentu (yang berarti kepadatan ramet) bervariasi tergantung pada lingkungan selektifnya.

Quaking Aspen di Maroon Bells, Colorado

Masalah konseptualnya adalah individuasi (dan karenanya, pada akhirnya, ini dapat dipandang sebagai pertanyaan metafisika). Bila sebuah batang semata menumbuhkan batang lainnya dan mereka masih saling ketergantungan secara struktur, haruskah kita menyebutnya sebagai satu individu besar atau populasi dari banyak individu yang lebih kecil? Klonalitas atau reproduksi aseksual tidak selalu jadi masalah bagi teori evolusi (lagipula, banyak tanaman menggunakan reproduksi aseksual dalam sebagian besar hidupnya); namun, masalahnya adalah memahami dan menjelaskan sifat perubahan evolusi ketika klon-klon tetap terintegrasi secara struktur.
Berdasarkan penamaan pada umumnya, individu genetik disebut genet, sementara individu morfologis tampak disebut ramet. Masalahnya adalah bahasa genet-ramet tidak benar-benar membedakan antara ramet yang berbeda secara fungsional, morfologis dan fisiologis dan ramet yang saling berhubungan saling tukar air dan nutrisi. Beragam istilah telah digunakan ahli botani untuk menjelaskan berbagai hubungan ontologis antara ramet dan genet, namun tidak ada yang benar-benar diterima umum.
Sebagian merujuk genet sebagai pembelah ketika genet memecah menjadi individu klonal, atau sebagai integrator permanen jika semua ramet tetap terintegrasi secara fungsional lewat sistem perakaran umum.

Quaking Aspen di Grand Tetons, Wyoming

Integrator permanen adalah genet yang menarik secara filsafat sains. Lewat pertumbuhan klonal, sebuah akar dapat memastikan kalau ia memaksimalkan pemanfaatan sebuah jalur, membuat pembenihan spesies lainnya menjadi lebih sulit. Quaking aspen meningkatkan kemungkinan kalau ia tidak diambil alih oleh spesies lain lewat pertumbuhan bukannya menciptakan akar lain lewat pembenihan.
Bukan hanya pembenihan yang berhasil langka, namun ia lambat, sementara sebuah ramet yang terintegrasi tumbuh bagi ukuran dewasa menggunakan sumberdaya yang dapat membantu benih otonom mengalahkan tekanan selektif dari merumputnya ungulata (yaitu merumputnya moose dan rusa). Pada dasarnya akar lebih baik dengan tumbuh lebih besar daripada memproduksi anak. Akarnya, dengan menggantikan bagiannya yang mati, meningkatkan kapasitasnya untuk bertahan hidup.
Klonalitas tidak selalu berujung pada pertumbuhan terintegrasi sebuah genet raksasa. Pelajaran disini bukanlah kalau reproduksi aseksual tidak pernah cukup diperhitungkan untuk pandangan yang diterima. Ketika para klon tidak terintegrasi, kesuksesan reproduktif diferensial sudah cukup. Namun, kasus seperti aspen menunjukkan kalau sebagian organisme menggunakan pertumbuhan klonal dan tetap kohesif secara struktural tidak benar-benar bereproduksi namun terlihat melakukan sesuatu yang benar, dan kita perlu cara baru menjelaskan evolusinya.

Sumber
Bouchard, F. 2008. Causal Processes, Fitness, and the Differential Persistence of Lineages. Philosophy of Science, 75 (December 2008), pp. 560-570
Referensi lanjut
  1. Cook, Robert E. (1980), “Reproduction by Duplication”, Natural History 89 (3): 88–93.
  2. Grant, Michael C. (1993), “The Trembling Giant”, Discover 14 (10): 82–89.
  3. Harper, J. L. (1978), “The Demography of Plants with Clonal Growth”, in A. H. J. Freysen and J. W. Woldendorp (eds.), Structure and Functioning of Plant Populations. Amsterdam: North-Holland, 27–48.
  4. Mitton, Jeffrey B., and Michael C. Grant (1996), “Genetic Variation and the Natural History of Quaking Aspen”, Bioscience 46 (1): 25–31.
  5. Oborny, Bea´ta, and A´ da´m Kun (2001), “Fragmentation of Clones: How Does It Influence Dispersal and Competitive Ability?”, Evolutionary Ecology 15: 319–346.
  6. Olejniczak, Pawel (2003), “Optimal Allocation to Vegetative and Sexual Reproduction in Plants: The Effect of Ramet Density”, Evolutionary Ecology 17: 265–275
  7. Tamm, Anneli, Kalevi Kull, and Marek Sammul (2002), “Classifying Clonal Growth Forms Based on Vegetative Mobility and Ramet Longevity: A Whole Community Analysis”, Evolutionary Ecology 15: 381–401.
faktailmiah.com
bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini