Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, namun kemerdekaan itu
sampai saat ini belum bisa dinikmati oleh sebagian rakyat Indonesia yang
hidup di kawasan hutan. Masyarakat lokal belum bisa memperoleh hak
terhadap tanah mereka dan mengakibatkan kemiskinan terus meningkat.
Data
dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
(UKP4) menyebutkan sampai saat ini sedikitnya 10 juta orang yang
bergantung pada hutan hidup di bawah garis kemiskinan.
Salah satu
penyebab utama kemiskinan adalah tidak adanya pengakuan terhadap hak
tenurial atau penguasaan dan pemanfaatan lahan hutan sehingga masyarakat
hutan tidak bisa memeuhi kebutuhan hidupnya dari tanah mereka.
Sejak
zaman penjajahan sampai era orde baru tak ada satu pun hukum yang
mengakui hak ternurial mereka. Harapan sempat membuncah ketika muncul
Undang-Undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 yang merupakan landasan
hukum yang paling terakhir.
Namun kenyataannya, tumpang tindih
pengelolaan kawasan hutan semakin menipiskan kesempatan masyarakat lokal
untuk memperoleh haknya. Koalisi masyarakat sipil mencatat 85 konflik
Kehutanan di 6 Provinsi dengan lahan sengketa mencapai 2 juta hektar
disebabkan Negara mengabaikan hak tenurial masyarakat setempat.
"Pemerintah
cenderung memprioritaskan pemberian izin kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) seperti PT. Perhutani dan usaha swasta, bukan kepada
masyarakat desa hutan. Oleh karena itu, tidak heran bila kemiskinan
terus terjadi di masyarakat," ujar Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil,
Myrna Safitri disela-sela Konferensi Hak Tenurial di Senggigi, Lombok
Barat, Selasa (12/07/2011).
Penataan batas kawasan hutan memegang
peranan penting karena pada tahapan ini harus melalui kegiatan
inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yakni masyarakat
lokal yang berada di sepanjang batas dan di dalam kawasan hutan.
Namun
ketidakpastian kawasan hutan ini telah berimplikasi terhadap
ketidakpastian bagi dunia usaha Kehutanan dan masyarakat setempat.
"Konflik antara masyarakat setempat dengan Pemerintah telah meningkat
sejak masa orde baru, salah satu akar masalahnya adalah ketidakpastian
kawasan hutan," jelas Suwito, salah seorang staf kemitraan, Partnership
for Governance Reform.
Sebuah terobosan coba ditawarkan Pemerintah
melalui Kementrian Kehutanan dengan menggelar Konferensi Internasional
Tenurial Hutan, Tata Pemerintahan dan Tata Wirausaha Kehutahan di Lombok
11-15 Juli. Dalam konferensi ini untuk pertama kalinya dalam sejarah di
Indonesia, Pemerintah duduk bersama Kelompok Sipil dan Masyarakat Adat
untuk membahas hak tenurial.
Dalam pidato pembukaannya, Wakil
Presiden Boediono merekomendasikan perbaikan pengaturan Kelembagaan
Kementrian Kehutanan agar bisa mengatasi berbagai macam masalah
pengelolaan hutan. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto yang mendukung
usulan tersebut juga mengusulkan peta tunggal sebagai satu-satunya yang
akan digunakan Kementrian kehutanan dan semua institusi lain di
Indonesia.
"Tujuannya agar konflik kehutanan bisa diselesaikan dan
diantisipasi di masa datang, hak-hak masyarakat lokal atas hutan bisa
akui dan dihormati dan mereformasi ketimpangan penguasaan lahan hutan,"
jelas Kuntoro saat menyampaikan paparannya di depan peserta konferensi.
Kuntoro
juga mendorong implementasi Ketetapan MPR IX/2001 tentang reforma
agraria dan pengelolaan sumber daya alam segera dilaksanakan sebagai
landasan untuk mereview dan merevisi seluruh undang-undang yang mengatur
tenurial di semua sector.sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini