Rabu, Juli 13, 2011

Masyarakat Hutan Belum Bebas Penjajahan

Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, namun kemerdekaan itu sampai saat ini belum bisa dinikmati oleh sebagian rakyat Indonesia yang hidup di kawasan hutan. Masyarakat lokal belum bisa memperoleh hak terhadap tanah mereka dan mengakibatkan kemiskinan terus meningkat.
Data dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menyebutkan sampai saat ini sedikitnya 10 juta orang yang bergantung pada hutan hidup di bawah garis kemiskinan.
Salah satu penyebab utama kemiskinan adalah tidak adanya pengakuan terhadap hak tenurial atau penguasaan dan pemanfaatan lahan hutan sehingga masyarakat hutan tidak bisa memeuhi kebutuhan hidupnya dari tanah mereka.
Sejak zaman penjajahan sampai era orde baru tak ada satu pun hukum yang mengakui hak ternurial mereka. Harapan sempat membuncah ketika muncul Undang-Undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999 yang merupakan landasan hukum yang paling terakhir.
Namun kenyataannya, tumpang tindih pengelolaan kawasan hutan semakin menipiskan kesempatan masyarakat lokal untuk memperoleh haknya. Koalisi masyarakat sipil mencatat 85 konflik Kehutanan di 6 Provinsi dengan lahan sengketa mencapai 2 juta hektar disebabkan Negara mengabaikan hak tenurial masyarakat setempat.
"Pemerintah cenderung memprioritaskan pemberian izin kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT. Perhutani dan usaha swasta, bukan kepada masyarakat desa hutan. Oleh karena itu, tidak heran bila kemiskinan terus terjadi di masyarakat," ujar Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil, Myrna Safitri disela-sela Konferensi Hak Tenurial di Senggigi, Lombok Barat, Selasa (12/07/2011).
Penataan batas kawasan hutan memegang peranan penting karena pada tahapan ini harus melalui kegiatan inventarisasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yakni masyarakat lokal yang berada di sepanjang batas dan di dalam kawasan hutan.
Namun ketidakpastian kawasan hutan ini telah berimplikasi terhadap ketidakpastian bagi dunia usaha Kehutanan dan masyarakat setempat. "Konflik antara masyarakat setempat dengan Pemerintah telah meningkat sejak masa orde baru, salah satu akar masalahnya adalah ketidakpastian kawasan hutan," jelas Suwito, salah seorang staf kemitraan, Partnership for Governance Reform.
Sebuah terobosan coba ditawarkan Pemerintah melalui Kementrian Kehutanan dengan menggelar Konferensi Internasional Tenurial Hutan, Tata Pemerintahan dan Tata Wirausaha Kehutahan di Lombok 11-15 Juli. Dalam konferensi ini untuk pertama kalinya dalam sejarah di Indonesia, Pemerintah duduk bersama Kelompok Sipil dan Masyarakat Adat untuk membahas hak tenurial.
Dalam pidato pembukaannya, Wakil Presiden Boediono merekomendasikan perbaikan pengaturan Kelembagaan Kementrian Kehutanan agar bisa mengatasi berbagai macam masalah pengelolaan hutan. Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto yang mendukung usulan tersebut juga mengusulkan peta tunggal sebagai satu-satunya yang akan digunakan Kementrian kehutanan dan semua institusi lain di Indonesia.
"Tujuannya agar konflik kehutanan bisa diselesaikan dan diantisipasi di masa datang, hak-hak masyarakat lokal atas hutan bisa akui dan dihormati dan mereformasi ketimpangan penguasaan lahan hutan," jelas Kuntoro saat menyampaikan paparannya di depan peserta konferensi.
Kuntoro juga mendorong implementasi Ketetapan MPR IX/2001 tentang reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam segera dilaksanakan sebagai landasan untuk mereview dan merevisi seluruh undang-undang yang mengatur tenurial di semua sector.


sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini