Minggu, Maret 28, 2010

AMDAL INI SIAPA YANG PUNYA?

Pengantar

Masih segar dalam ingatan kita saat digulirkannya konsep otonomi daerah kira-kira tiga tahun yang lalu, AMDAL pun serta merta ikut terbawa oleh perubahan-perubahan yang bernuansa Otoda tersebut. Sehingga pada tanggal 20 Desember 2000, Pusat Standardisasi dan Lingkungan Departemen Kehutanan turut membuka wacana mengenai pelaksanaan AMDAL pada era Otoda melalui penyelenggaraan seminar tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999.

Dalam seminar tersebut, salah satu makalah yang disampaikan oleh pembicara yaitu Dr. Ngadiono, MS. patut kita simak kembali sambil mencermati pelaksanaan AMDAL di masa otonomi daerah ini yang telah berjalan kurang lebih hampir dua tahun.

Pada kesempatan ini, redaksi mengajak pembaca info-pustanling untuk membuka kembali hal-hal yang nampaknya penting untuk dipahami mengenai konsep yang utuh dalam pelaksanaan AMDAL di masa otonomi daerah ini.

Perjalanan AMDAL Menuju ke Daerah

Sejak diundangkannya UU No. 4 Th. 1982, pelaku pembangunan dan masyarakat tidak dapat lagi menghindar dari pertimbangan aspek lingkungan hidup dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur bahwa setiap usaha/kegiatan pembangunan yang diperkirakan mempengaruhi fungsi lingkungan hidup atau diperkirakan mempunyai dampak besar dan penting perlu dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Ketentuan tersebut dituangkan dalam PP No. 29 Th. 1986 yang kemudian diperbaharui dan diganti melalui PP No. 51 Th. 1993. Pada tahun 1990 Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden No. 23 tahun 1990 tentang Pembentukan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL).

Dalam perjalanannya, UU No. 4 Th. 1982 dinilai kurang memadai dalam menampung aspirasi pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Maka pada tahun 1997 dilakukan penyempurnaan melalui penetapan UU No. 23 Th. 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Dengan kebijakan baru dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UU No. 23/97, maka PP No. 51 Th. 1993 (AMDAL) sebagai penjabaran pelaksanaan UU No. 4 Th. 1982 disempurnakan dan diganti dengan PP No. 27 Th. 1999 yang telah mengakomodir wacana otonomi daerah, sehingga dimungkinkan pembahasan dan penilaian AMDAL oleh Pemerintah Daerah.

Pengelolaan Lingkungan Hidup

Bahwa dengan diberlakukannya UU No. 4 Th. 1982 yang disempurnakan dan diganti dengan UU No. 23 Th. 1997, masalah lingkungan hidup telah menjadi faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan dan pengolahan SDA. Pembangunan tidak lagi menempatkan SDA sebagai modal, tetapi sebagai satu kesatuan ekosistem yang di dalamnya berisi manusia, lingkungan alam dan/atau lingkungan buatan yang membentuk kesatuan fungsional, saling terkait dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat spesifik, berbeda dari satu tipe ekosistem ke tipe ekosistem yang lain. Oleh sebab itu, pengelolaan lingkungan hidup bersifat spesifik, terpadu, holistik dan berdimensi ruang.

Berdasarkan UU No. 23 Th. 1997 lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan kesemua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Sedangkan pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Pada Bab II pasal 4 UU No. 23 Th. 1997 dikemukakan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :

1.Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.
2.Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang mempunyai sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup.
3.Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa mendatang.
4.Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.
5.Terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana.
6.Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Dari sasaran-sasaran pengelolaan lingkungan hidup di atas, terlihat bahwa kelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan sasaran utama yang dapat diukur. Menurut bab V UU No. 23 Th. 1997 tentang pelestarian fungsi lingkungan hidup, dinyatakan bahwa kelestarian fungsi lingkungan hidup dapat diukur dengan dua parameter utama, yaitu Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup. Dua parameter ini menjadi ukuran/indikator apakah rencana usaha dan/atau kegiatan dapat menimbulkan dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup. PP 27 Th. 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pasal 3 menyebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi :

1.Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.
2.Eksploitasi sumberdaya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak terbaharui.
3.Proses dan kajian yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumberdaya alam dalam pemanfaatannya.
4.Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sumberdaya.
5.Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumberdaya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.
6.Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.
7.Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati.
8.Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
9.Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan dapat mempengaruhi pertahanan negara.

Menurut keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 19 Th. 2000 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup pada lampiran II dikemukakan bahwa pada studi AMDAL, terdapat empat kelompok parameter komponen lingkungan hidup, yaitu :

1.Fisik – kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi; Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi),
2.Biologi (Flora; Fauna)
3.Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan)
4.Kesehatan masyarakat.

Dengan evaluasi parameter komponen lingkungan pada setiap kegiatan (prakonstruksi, konstruksi, pasca konstruksi) terhadap Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup akan dapat ditentukan dampak penting (positif dan negatif) parameter lingkungan hidup.

Hasil kajian dampak penting parameter lingkungan hidup dari setiap kegiatan selanjutnya diorganisasikan ke dalam tiga buku laporan yang terpisah, yaitu 1) Analisis Dampak Lingkungan/Andal, 2) Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup/RKL, 3) Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup/ RPL. Ketiga dokumen ini (dokumen AMDAL) merupakan hasil kajian kelayakan lingkungan hidup, dan merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari hasil kajian kelayakan teknis dan finansial-ekonomi. Selama ini kedua dokumen kelayakan ini (kelayakan teknis dan kelayakan lingkungan hidup) masih dalam bentuk yang terpisah, baik dokumennya maupun instansi yang menanganinya.

Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hidup) yang merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (pasal 2 PP 27/99) selanjutnya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 7 PP 27/99). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial administratif.

Otonomi Daerah

Otonomi daerah dibangun atas dasar pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pasal 4 ayat 1 UU No. 22 Th 1999 disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Menurut pasal 4 ayat 2 hubungan daerah-daerah sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 masing-masing berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempunyai hubungan hirarki satu sama lain. Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain (pasal 7 ayat 1).

Dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup, PP No. 25 Th. 2000 telah secara tegas memisahkan kewenangan-kewenangan yang menjadi milik pemerintah pusat dan kewenangan-kewenangan yang menjadi milik pemerintah daerah. Sesuai dengan pasal 2 PP No. 25 Th. 2000 Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk :

1.Penetapan pedoman pengendalian sumberdaya alam dan kelestarian fungsi lingkungan.
2.Pengaturan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya laut di luar 12 mil.
3.Penilaian AMDAL bagi kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat dan atau menyangkut pertahanan dan keamanan yang lokasinya meliputi lebih dari 1 wilayah propinsi, kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain, di wilayah laut bawah 12 mil dan berlokasi di lintas batas negara.
4.Penetapan baku mutu lingkungan hidup dan penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup.
5.Penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup.

Sementara itu menurut pasal 3 PP No. 25 Th. 2000 kewenangan daerah propinsi mencakup :

1.Pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota.
2.Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut 4 mil sampai 12 mil.
3.Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten/kota.
4.Penilaian AMDAL bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya meliputi lebih dari satu kabupaten/kota.
5.Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten/kota.
6.Penetpan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional.

Perkembangan saat ini

Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 27 Tahun 1999, maka SK Menhutbun No. 602/Kpts-II/1998 jo. NO. 622/Kpts-II/1999 tentang AMDAL, UKL dan UPL Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan tidak relevan lagi. Sesuai ketentuan tersebut di atas AMDAL, UKL dan UPL saat ini dilaksanakan oleh pemerintah daerah (Kabupaten). Namun demikian ada bagian-bagian lain dari ketentuan-ketentuan yang ada yang menjelaskan tentang kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu :

1.Pasal 7 ayat (2) UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa bidang konservasi merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.
2.Pasal 2 ayat (3) butir 4 (j) PP. No. 25 Th. 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, menyebutkan bahwa penyelenggaraan ijin usaha pengusahaan taman buru, usaha perburuan, penangkaran flora dan fauna yang dilindungi, dan lembaga konservasi, serta penyelenggaraan pengelolaan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam taman buru, termasuk daerah aliran sungai di dalamnya, merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.

Terhadap pencermatan ketentuan tersebut, maka saat ini sedang “digodog” konsep ketentuan yang mengatur tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) bidang konservasi dan juga pengawasan pelaksanaan pengelolaan lingkungan secara umum.

Penutup

Terlepas dari AMDAL ini siapa yang punya, yang paling penting untuk dipahami dalam pembangunan berkelanjutan adalah bahwa kelayakan lingkungan hidup dan kelayakan teknis finansial secara normatif harus merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu di dalam kelayakan teknis finansial ekonomi telah mengakomodir dan mengintegrasikan norma-norma dan kaidah-haidah lingkungan hidup. Dan aspek finansial ekonomi telah memasukkan biaya-biaya yang timbul akibat saran yang dituangkan dalam laporan Andal, RKL dan RPL. Oleh sebab itu setiap kelayakan usaha dan/atau kegiatan dalam proses perijinan harus melakukan studi kelayakan yang mencakup kelayakan teknis, finansial-ekonomi, dan kelayakan lingkungan hidup yang dibahas dan dinilai oleh tim terpadu. Hal ini penting karena kelayakan teknis dapat berubah akibat rekomendasi kelayakan lingkungan hidup, dan selanjutnya perubahan kelayakan teknis akan menyebabkan perubahan kelayakan ekonomi-finansial.

Link Terkait: http://www.dephut.go.id/Halaman/STANDARDISASI_&_LINGKUNGAN_KEHUTANAN/INFO_V02/III_V02.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini