Kamis, Juni 09, 2011

Kebingungan Karbon di Indonesia

Indonesia telah berjanji untuk menjadi pemimpin dunia dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Tahun 2009, presiden SBY berkomitmen mengurangi 26% emisi GRK tahun 2020 ke ambang normal. Dari total ini, 14% datang dari mengurangi emisi dari penggundulan atau degradasi hutan. Investasi dari pemerintah asing dan badan lain diduga meningkatkan pengurangan emisi total dari 26% menjadi 41%.
Walaupun negosiasi internasional mengenai aturan tentang bagaimana mengurangi emisi dan memperlambat pemanasan global lambat namun terus terjadi, pemerintah Indonesia dan Norwegia menandatangani letter of intent dimana 1 miliar USD tersedia untuk membantu sistem penghentian penggundulan dan degradasi hutan yang juga membahas emisi gambut. Sebagian kesepakatan ini adalah Indonesia akan menanamkan sebuah moratorium atau suspensi dua tahun pada semua konsesi baru untuk konversi lahan gambut dan hutan alami.
Walau ini kedengarannya menjanjikan, setannya ada dalam detail. Banyak yang tergantung pada bagaimana gambut dan hutan alami didefinisikan dan bagaimana hak-hak disetujui. Lobi yang kuat dari industri tanaman industri dan hutan berpendapat kalau ekonomi akan rusak bila kondisi ‘normal’ di interupsi. Menurut sumber berita, definisi ‘hutan alami’ dan ‘gambut’ berbeda antara draft yang disiapkan oleh badan reduksi emisi Pemerintah Indonesia dan oleh Kementrian Kehutanan. Ada beberapa isu kunci yang perlu diselesaikan.
Pertama, bila moratorium dibatasi pada kawasan hutan, sepertiga emisi saat ini dari pembersihan dan pengubahan vegetasi kayu akan tetap tidak dihitung. Mandat kelembagaan dan tipe izin yang dikeluarkan pemerintah berbeda antara kategori kawasan hutan dan penggunaan lahan lainnya. agroforestry multi strata diatur oleh petani untuk menutupi sekitar 10% negara ini (atau 20 juta hektar) tahun 1990 namun berkurang menjadi sekitar 17 juta hektar tahun 2005, dengan konversi lebih jauh berlanjut hingga sekarang. Sebagian perubahan ini berdasarkan pada insentif ekonomi yang dipersepsi petani dari konversi hingga petanian monokultur dan sebagian karena tekanan luar.
Kedua, draft Kementrian Kehutanan bertujuan untuk memungkinkan konsesi tanaman baru di hutan yang dipotong, dimana penanaman pohon atau konversi tanaman pohon monokultural disajikan saat perbaikan hutan. Kementrian mengajukan moratorium yang terbatas pada melindungi hutan primer, dan mendefinisikannya sebagai ‘hutan alami tidak disentuh oleh pertanian atau sistem silvikultural yang berlaku pada kehutanan’. Sebagian hutan sekunder (sudah dipotong) di Indonesia masih memiliki cadangan karbon yang tinggi dan penting untuk pelestarian keanekaragaman hayati. Akan membantu bila sebuah peta khusus dapat memperjelas dimana moratoriumnya berlaku.
Ketiga, lahan gambut adalah rumah penyimpan karbon yang besar dan perlindungan mereka dari drainase dan api berperan penting dalam reduksi emisi karbon. Lahan gambut muncul baik di dalam maupun di luar hutan dan merupakan sumber emisi apakah berhutan atau tidak. Draft kementrian kehutanan mengeluarkan konsesi baru mengenai lahan gambut lebih dalam dari tiga meter, namun walaupun hal ini sudah ilegal tapi masih terjadi. Tantangan lebih jauh adalah peta kedalaman gambut yang ada tidaklah akurat.
Keempat, hukum, peraturan dan norma kebiasaan berlaku pada berbagai tingkat pemerintah, sektor swasta dan masyarakat setempat sering bertentangan di masa lalu dan terus demikian di masa kini. Konflik ini menunggu penerapan strategi manapun dan akan membutuhkan perhatian serius untuk diselesaikan.
Walaupun merupakan tantangan untuk memecahkan semua isu di atas dalam negara seukuran Indonesia, ia dapat terlaksana jika
a)      Tujuan mengurangi emisi karbon sementara tetap menjaga kesejahteraan manusia tetap menjadi fokus
b)      Moratoriumnya jelas dan operasional
c)      Ia lebih dari sekedar menyatakan kembali peraturan yang telah yang tidak mencegah kondisi buruk yang terjadi sekarang
Hal ini membawa pada beberapa rekomendasi.
Pertama, semua hutan, tidak peduli lokasi dan status lahannya, harus dimasukkan.
Kedua, hutan yang ditebang harus dimasukkan dan dilindungi dengan skema reduksi emisi manapun karena mereka masih mengandung cadangan karbon dan keanekaragaman hayati yang mendasar.
Ketiga, semua lahan gambut harus dimasukkan, tidak peduli berapa kedalamannya.
Keempat, definisi hutan harus dibuat relevan dengan tujuannya, yaitu mengurangi emisi karbon dengan menghindari pembuangan atau pengurangan vegetasi berkayu.
Kelima, pemerintah nasional dan provinsi adalah dua pemain dari beberapa pemain dan kerjasama yang dinegosiasikan diperlukan bukannya menyerahkan pada satu otoritas hukum tunggal.
Keenam, implementasi berbasis pasar pada skema reduksi emisi akan menambah kebingungan karena hak karbon yang tak terpecahkan merupakan tambahan pada lapisan yang sudah rumit dari hak-hak kepemilikan yang tak terselesaikan. Pendekatan investasi bersama dimana semua pihak bekerja sama untuk manusia dan manfaat lingkungan pada tingkat lokal dan global, dapat menyumbang untuk memecahkan permasalahan mengenai hak properti dan melihat penggunaan otoritas negara yang lebih transparan.
Bagi moratoriumnya, aturan sederhananya adalah ia memperlakukan konsesi baru pada semua lahan, kecuali lahan dengan cadangan karbon di atas tanah kurang dari 35 ton karbon per hektar, dan ia berlaku pada semua lahan gambut tanpa memandang jumlah karbon di atas tanahnya. Ini berarti ia mudah dipetakan dan dimonitor. Ia akan menjadi aturan yang jelas untuk bergerak sejak sekarang. Ia akan menyediakan waktu untuk memikirkan mengenai isu-isu yang berkaitan dengan lahan yang dimasukkan dalam moratorium dan memperbaiki peraturan di masa depan sebagaimana dibutuhkan.


Sumber
Watts, A. 1 Maret 2011. ‘Carbon Confusion’ in Indonesia
Referensi lanjut
Beria Leimona. PES: Sustainable financing for conservation and developmentWWF,World Agroforestry Centre- ICRAF SEA Regional Office, REECS, UP-CIDS, UPLB-ENFOR, CARE.
Let nature take its course: conservation farming with natural vegetative strips and landcare in the Philippines. [VHS]. Bogor, Indonesia. International Centre for Research in Agroforestry, SEA Regional Research Programme, CIIFAD, USAID.

artikel dikutip dari faktailmiah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini