Sabtu, Mei 14, 2011

Hutan sagu: potensinya dalam REDD




















REDD adalah suatu upaya penurunan emisi dari sektor deforestasi dan degradasi hutan yang diinisiasi pada COP 12 di Bali tahun 2007, yang artinya penebangan hutan dan alih guna hutan harus dihindari dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca*. Seperti telah kita ketahui bahwa meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam pemanasan global akhir-akhir ini.

Seiring berjalannya waktu muncul suatu pemikiran bahwa tidak hanya deforestasi dan degradasi hutan yang harus dihindarkan, tetapi keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna yang ada di dalam hutan secara otomatis dapat dilestarikan dengan cara tersebut. Berdasarkan pada isu ini, maka ada wacana yang dikenal dengan REDD+, yaitu REDD plus konservasi keanekaragaman hayati.
Sagu (Metroxylon spp.) merupakan salah satu jenis keanekaragaman hayati tumbuhan asli Asia Tenggara yang tumbuh secara alami di dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Indonesia merupakan negara yang memiliki luasan sekitar 50% dari sagu dunia dan 85% diantaranya terdapat di Papua yang tersebar di Waropen Bawah, Sarmi, Asmat, Merauke, Sorong, Jayapura, Manokwari, Bintuni, Inawatan, dan beberapa daerah yang belum terinventarisasi.
Di Papua, sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat selain umbi-umbian dan beras. Oleh karena itu keberadaan hutan sagu sangat penting artinya bagi masyarakat Papua sebagai sumber bahan makanan pokok. Satu batang pohon sagu yang diolah menjadi sagu siap makan, dapat mencukupi untuk kebutuhan satu keluarga dalam sebulan. Begitu pentingnya hutan sagu bagi masyarakat Papua, hingga kepemilikan dan proses pemanenannya diatur secara adat. Hutan sagu dimiliki oleh sekelompok keluarga dalam satu famili. Pada umumnya, satu famili memiliki dua sampai tiga lokasi hutan sagu.
Hutan sagu sebagai penyerap karbon

Berdasarkan fungsinya sebagai sumber bahan makanan pokok, maka kemungkinan hutan sagu dialihgunakan relatif kecil, apalagi kepemilikannya diatur secara adat dan tumbuh secara alami seperti layaknya hutan alam, sehingga memiliki peluang sebagai penyerap karbon. Hasil pengukuran cadangan karbon pada hutan sagu di Sentani (Kota Jayapura) dan Kabupaten Jayapura, Papua menunjukkan bahwa hutan sagu dapat menyimpan karbon rata-rata 53 ton/ha dengan populasi anakan sekitar 400 pohon/ha, tanaman muda 80 pohon per ha dan tanaman siap panen 20 pohon per ha. Kisaran cadangan karbon pada hutan sagu sekitar 53 ton/ha tergantung komposisi strata pertumbuhan sagu dan jenis pohon lain yang ada di dalamnya.
Plot dengan cadangan karbon tinggi (Plot-1) memiliki kepadatan populasi sagu yang lebih rapat yaitu sekitar 700 anakan per hektar dan 100 pohon muda per hektar. Populasi sagu yang tinggi, tentunya diikuti nekromasa yang tinggi pula. Hampir semua nekromasa pada hutan sagu berasal dari pelepah sagu yang kering. Sedangkan pada plot dengan cadangan carbon rendah (Plot-2), memiliki kepadatan populasi sekitar 260 anakan per hektar dan 20 pohon sagu muda per hektar. Plot-1 dan Plot-2 merupakan plot yang hanya ditumbuhi oleh pohon sagu, hampir tidak ada pohon lain tumbuh pada plot tersebut. Sementara itu, Plot-3 dan Plot-4 merupakan hutan sagu campuran, dimana sumbangan carbon dari pohon selain sagu mencapai 60%.


Hutan sagu sebagai habitat keanekaragaman hayati

Hutan sagu menyerupai hutan alam yang memiliki berbagai strata pertumbuhan dalam satu hamparan, mulai dari anakan, tanaman yang mulai berbatang, tanaman muda, tanaman siap panen dan tanaman tua. Demikian pula dengan keragaman jenisnya. Dalam satu hamparan hutan sagu terdiri dari pohon sagu dengan berbagai kualitas yang didasarkan pada produktivitas dan warna sagu. Oleh karena itu, pemanenan sagu dilakukan secara cermat, karena hanya memilih pohon yang memiliki kematangan tepat dan produktivitas tinggi.
Sekitar 51 jenis sagu di Papua dengan berbagai keragaman kualitas telah teridentifikasi. Keragaman tersebut merupakan sumber plasma nutfah yang harus dilestarikan karena berpotensi sebagai sumber daya genetik yang dapat dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman sagu di masa mendatang untuk mendapatkan varietas-varietas unggul. Selain sagu, berbagai jenis pohon kayu-kayuan seperti kayu hitam (Diospyros sp.), matoa (Pometia pinnata), terentang (Campnosperma sp.) dan jenis-jenis tanaman pioneer tumbuh di hutan sagu.
Diospyros sp. yang merupakan satu-satunya genus dari famili Ebenaceae banyak dieksploitasi dari hutan alam untuk berbagai penggunaan sehingga populasinya semakin menurun.
Dari kedua hal di atas, dapat disimpulkan bahwa hutan sagu memilki potensi sebagai penyimpan karbon yang berperan dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi, dan juga memiliki peranan penting dalam konservasi, baik konservasi terhadap plasma nutfah berbagai jenis sagu maupun konservasi terhadap pohon-pohon hutan lainnya. Peran yang tidak kalah penting adalah sebagai penyedia sumber bahan makanan pokok. Tentunya, peran tersebut membuka peluang untuk melakukan kajian lebih dalam dari hutan sagu. Oleh karena itu, marilah kita jaga kelestariannya.

Sumber http://kiprahagroforestri.blogspot.com/2011/01/hutan-sagu-potensinya-dalam-redd.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini