Senin, Maret 28, 2011

Ganggang dan Bakteri menumpuk Oksigen pasca Kepunahan Massal dan memperlambat Pemulihan Kehidupan Laut

Sebuah kepunahan massa sudah cukup sulit untuk dihadapi biosfer Bumi, ditambah lagi dengan kelangkaan oksigen berkepanjangan, biota akhirnya mesti berjuang jutaan tahun.

Demikianlah situasi kepunahan massal terbesar di sejarah Bumi, 250 juta tahun lalu, ketika 90 persen dari semua spesies hewan laut punah, bersama dengan banyak sekali spesies tanaman, hewan dan serangga di darat.
Jumlah vulkanisme masif di Siberia dipercaya menyebabkan bencana ini, namun bahkan setelah penumpahan lava dan gas beracun besar-besaran telah selesai, tingkat oksigen di samudera, yang sudah rendah, tetap saja rendah selama sekitar 5 juta tahun, memperlambat pemulihan kehidupan pada derajat yang tidak biasa.
Alasan tingkat oksigen rendah yang berkepanjangan ini telah lama membingungkan para ilmuan, namun kini para ilmuan Stanford telah menemukan apa yang mungkin terjadi sebenarnya. Dengan menganalisa komposisi kimia lantai batu bawah air yang terendap selama masa pemulihan di China selatan masa kini, mereka menemukan kalau sementara perlu beberapa juta tahun bagi sebagian besar ekosistem di samudera untuk pulih, bakteri dan ganggang kecil bersel satu pulih jauh lebih cepat.
Faktanya, menurut ahli biogeokimia Katja Meyer, mahluk renik ini pulih begitu cepat sehingga mahluk yang lebih besar tidak dapat menjangkaunya – terutama dalam bernapas – karena mahluk kecil ini mengalami ledakan populasi.
Ketika organisme kecil mati dalam jumlah besar, oksigen terlarut di air laut dikonsumsi oleh mikroba aerobik yang terlibat dalam proses peluruhan, menyisakan sedikit oksigen saja untuk organisme besar sehingga lingkungan menjadi anoksik – atau miskin oksigen.
Pengendali ledakan populasi ini tampaknya adalah sejumlah besar karbon dioksida yang terpompa ke atmosfer saat vulkanisme, kata Meyer, yang menyebabkan dunia menghangat.
“Lebih hangat berarti siklus hidrologis yang cepat, jadi lebih banyak hujan terjadi dan hujan ini juga lebih asam karena ada lebih banyak karbon dioksida terlarut dalam hujan,” kata Meyer.
Peningkatan jumlah hujan asam meningkatkan erosi di permukaan daratan, yang mengirimkan lebih banyak nutrisi ke samudera, yang menjadi bahan bakar bagi ledakan kehidupan seperti letusan ganggang.
“Terasa tidak masuk akal kalau produktivitas tinggi pada bakteri dan ganggang justru menyebabkan kondisi geokimia beracun yang mencegah sebagian besar mahluk hidup pulih dari kepunahan massal,” kata Meyer.
Namun prosesnya, menurut beliau, pada dasarnya sama saat kelebihan pupuk masuk ke air, apakah itu kolam di lapangan golf atau zona mati terkenal di Teluk Meksiko yang disebabkan oleh aliran buangan yang dibawa Sungai Mississippi.
“Anda mendapatkan ledakan raksasa ganggang dan kemudian udara menjadi busuk karena banyak ganggang yang kemudian mati, menarik oksigen dari air dan menyebabkan ikan mati,” kata Meyer.
Walaupun jumlah ganggang dan bakteri yang hidup dan mati saat itu hampir tak terkira jumlahnya, hanya ada sedikit bukti langsung mereka dalam catatan fosil karena mahluk kecil bertubuh lembut tersebut sulit terlestarikan dalam fosil.
Karenanya, Meyer dan kawan-kawannya harus bekerja dengan bukti tidak langsung mikroorganisme tersebut untuk menentukan kelimpahannya pada tahun-tahun pasca kepunahan massal. Proksi populasi yang mereka gunakan adalah karbon yang ada di dalam batuan.
Karbon – seperti semua unsur lainnya – memiliki berbagai variasi, yang disebut isotop, dibedakan oleh jumlah neutron di tiap intinya. Para peneliti bekerja dengan dua isotop karbon, karbon 12, yang memiliki enam neutron, dan karbon 13, yang memiliki tujuh neutron.
Kedua isotop ini ada di air samudera, namun mahluk hidup di Bumi selalu memilih isotop yang lebih ringan, karbon 12, dalam struktur mereka. Karenanya, jika kehidupan melimpah, rasio karbon 13 terhadap karbon 12 di air laut akan lebih tingi daripada bila tidak ada kehidupan.
Batu mencatat komposisi air laut dimana ia terendapkan, termasuk jumlah relatif isotop karbon ringan dan berat, jadi dengan menganalisa rasio isotop di batuan ini, Meyer dapat menemukan kelimpahan kehidupan di air dimana batu tersebut terbentuk.
Lingkungan modern yang dapat dibandingkan, seperti Pantai Bahama di Laut Karibia, dimana landas karbonat yang sifatnya sama dengan batuan terbentuk, penuh dengan kehidupan dalam jangkauan kedalaman dimana batuan Meyer terbentuk. Dalam lingkungan ini, rasio karbon 13 terhadap karbon 12 umumnya tetap dari air dangkal ke dalam.
Namun mikroorganisme khususnya paling banyak di air dangkal, jadi bila kehidupan laut di era pasca kepunahan massal terbatas pada ganggang dan bakteri, maka air dangkal harusnya menunjukkan rasio karbon 13 terhadap karbon 12 yang lebih besar secara nyata dengan daerah yang lebih dalam.
Analisa Meyer menunjukkan kalau ada perbedaan sekitar 0.4 persen rasio isotop karbon antara air dangkal dan air dalam, sekitar dua kali lebih besar daripada masa kini.
“Kami hanya melihat gradien ini dalam selang pasca kepunahan massal sebelum pemulihan kehidupan hewan,” kata Meyer.
Meyer adalah penulis utama sebuah makalah ilmiah mengenai studi ini yang diterbitkan bulan lalu di jurnal Earth and Planetary Science Letters. Kepunahan yang terjadi 250 juta tahun lalu disebut sebagai kepunahan massal Perm-Trias, karena bertepatan dengan akhir periode Perm dan awal periode Trias dalam skala waktu geologis.
“Sepertinya ada sejumlah besar produktivitas biologis dalam air dangkal yang membuat air dalam tidak dapat didiami hewan,” kata Jonathan Payne, asisten profesor geologi dan ilmu lingkungan, yang juga menulis makalah tersebut dan bekerja di lab Meyer.
“Sepertinya seluruh pemulihan diperlambat karena terlalu banyak makanan yang ada, bukannya karena terlalu sedikit makanan,” kata Payne. “Sebagian besar dari kita berpikir kalau biota tidak berkembang berarti kita harus memberinya makan lebih banyak. Ini adalah contoh nyata dimana sedikit memberi makan akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik.”
Dana penelitian ini disediakan oleh Yayasan Sains Nasional, Lembaga Agouron, Masyarakat Kimia Amerika dan Masyarakat Geografi Nasional.
Sumber berita:
Referensi ilmiah:
Meyer, K.M., Yu, M., Jost, A.B., Kelley, B.M., Payne, J.L. 2011.. ?13C evidence that high primary productivity delayed recovery from end-Permian mass extinction. Earth and Planetary Science Letters; 302 (3-4): 378 DOI: 10.1016/j.epsl.2010.12.033

Sumber http://www.faktailmiah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini