Minggu, Februari 27, 2011

Nasib Talang Mamak dan Orang Rimba di ujung Tanduk


Di masa lalu, orang menduga bahwa kertas di dunia pada waktunya akan habis karena perusahaan kertas akan terus membabat hutan hingga tak tersisa. Asumsi ini salah karena setiap perusahaan kertas harus memiliki lahan untuk menanam kembali. Dengan kata lain, pohon yang digunakan untuk membuat kertas berasal dari pohon yang mereka tanam sendiri. Dulu orang juga mengira bahwa keberadaan internet akan menurunkan konsumsi kertas dunia. Justru dampak sebaliknya yang terjadi. Adanya internet menambah konsumsi kertas. Jadi dunia sekarang membutuhkan lahan baru untuk produksi kertas. Sayangnya, untuk pembangunan HTI (Hutan Tanaman Industri) mesti ada lahan yang dikorbankan. Dan kadang yang dikorbankan adalah rimba yang sesungguhnya.

Rimba Sumatera merupakan salah satu daerah prioritas penyelamatan hayati dunia. Saat ini ada dua program utama: penyelamatan harimau dan penyelamatan Orangutan. Sayangnya, di sisi lain, rimba ini juga menjadi target utama salah satu perusahaan penghasil kertas terbesar di dunia.

Seperti nasib Kalimantan yang rimbanya perlahan berubah menjadi kebun sawit yang luas, rimba Sumatera telah di eksploitasi sejak tahun 2004, terutama di daerah Bukit Tigapuluh. Perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan perusahaan kertas besar di Indonesia mendapat izin Pemerintah untuk mengubah rimba yang padat satwa menjadi hutan tanaman komersil. Akibatnya, warga pedalaman yang tinggal di hutan dan hewan-hewan langka terancam kehilangan tempat tinggal.

Menurut Susanto Kurniawan dari lembaga Eyes on the Forest, penyelidikan mereka menemukan bahwa dalam enam tahun terakhir, perusahaan kertas tersebut mengakibatkan hilangnya 60 ribu hektar hutan tanpa pengawasan profesional dan konsultasi dengan para stakeholder. Eyes on the Forest kemudian mengirim rekomendasi pada Pemerintah agar tidak dengan mudah memberikan izin karena akan menghapus keanekaragaman hayati serta membuat putus asa masyarakat sekitar. Rimba Bukit Tigapuluh adalah satu dari sedikit rimba yang tersisa di Sumatera bagian tengah.

Bukit Tigapuluh sendiri memuat 320 ribu hektar hutan alami, dan sejarah pelestarian satwa telah mencatat 30 harimau, 150 gajah dan 130 orangutan dilepaskan di daerah tersebut. Pelepasan ini ditujukan agar para fauna langka tersebut dapat kembali berkembang setelah sebelumnya diselamatkan dari perdagangan satwa liar. Julius Paolo Siregar dari Masyarakat Zoologi Frankfurt mengatakan bahwa para kera besar ini merupakan mereka yang selamat dari perdagangan satwa liar yang tertangkap dan akhirnya mendapat kesempatan hidup dan berkembang biak kembali di alam liar. Rencana konversi rimba menjadi HTI (Hutan Tanaman Industri) berarti kematian bagi banyak hewan ini.

Hutan Bukit Tigapuluh juga merupakan tempat tinggal dua suku – Orang Rimba dan Talang Mamak. Mereka sudah lama mengungsi dari tanah asalnya karena eksploitasi hutan oleh perusahaan-perusahaan kayu dan kertas. Menurut Diki Kurniawan dari WARSI, “banyak diantara mereka sekarang harus mengemis beras untuk bertahan hidup.”

Bukit Tigapuluh sendiri telah mendapat status sebagai satu dari 20 lokasi kritis untuk kelangsungan hidup jangka panjang harimau oleh para ilmuan internasional. Bulan November, Indonesia sendiri yang meminta dalam pertemuan harimau dunia agar daerah tersebut menjadi pusat pelestarian harimau.

Aditya Bayunda dari WWF-Indonesia mengatakan bahwa “Bukit Tigapuluh adalah uji utama bagi kesepakatan iklim 1 miliar dollar antara Indonesia dengan Norwegia.” Beliau melanjutkan “Kami siap membantu Pemerintah menemukan cara untuk melindungi hutan dan kekayaan alam Indonesia.”

Sumber berita :
World Wildlife Fund

Sumber artikel faktailmiah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini