Selasa, Januari 10, 2012

Menanti Peran Korporasi dalam Penyelamatan Orangutan

Meski Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya sudah melarang warga negara untuk membunuh, memelihara, atau melatih orangutan, tetap saja perlindungan hewan ikonik Indonesia itu sulit terwujud. Alasannya, tidak ada undang-undang yang secara khusus melindungi hutan sebagai habitat unik, satu-satunya tempat orangutan bisa hidup.

Berbagai macam ancaman, kerusakan, serta fragmentasi hutan menyebabkan orangutan, sebagai mahluk yang tinggal di dalamnya, sulit terlindungi. Isu perlindungan habitat ini adalah inti dari penyelesaian masalah perlindungan orangutan. Tanpa undang-undang perlindungan habitat, orangutan yang ditangkap, dibunuh, atau diperdagangkan akan terus naik dalam jumlah mengejutkan.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Borneo Orangutan Survival Foundation, Bungaran Saragih, Selasa (10/1) dalam forum Indonesia Endangered Species di Jakarta.

Bungaran juga menambahkan, saat ini yayasan yang ia pimpin harus membayar izin penggunaan lahan hutan sebesar 86.450 hektar di Kalimantan Timur sebesar $1,4 juta dolar dengan dana donor dari Eropa dan Australia.

"Ironisnya, orangutan kan milik negara, hutan juga milik negara, tapi kami harus membayar penggunaan lahan hutan untuk melestarikan orangutan dan hutan yang seharusnya dilakukan oleh negara." Malah, sangat sedikit biaya dari perusahaan dalam negeri atau pemerintah Indonesia untuk pelestarian orangutan yang sudah menjadi simbol nasional.

Biaya konservasi dan perawatan orangutan mencapai $3500 per tahun per ekor orangutan. Dengan 850 orangutan yang dirawat di BOSF, biaya yang harus dikeluarkan mencapai $2,95 juta per tahun. Yang lebih ironis lagi, menurut Bungaran, malah lembaga konservasi dari Kementerian Kehutanan justru membawa orangutan-orangutan yang harus dirawat ke BOSF.

Di sisi lain, sektor bisnis masih mendapat berbagai insentif finansial dan bisa terus beroperasi dengan praktik-praktik yang merusak lingkungan sehingga menyebabkan hilangnya habitat orangutan.  Tetapi mereka belum menunjukkan tanggung jawab yang setara dalam menjaga keragaman hayati, termasuk perlindungan orangutan.

Peran sektor privat atau bisnis dalam pelestarian keragaman hayati sudah tak bisa dipungkiri lagi. Alasannya, menurut Direktur Institut Konservasi Biologi Smithsonian Steve Monfort, di Indonesia, 80 persen orangutan berada di luar wilayah konservasi. Sementara, populasi gajah di Indonesia, sekitar 70 persen, juga ada di luar wilayah konservasi.

Di luar wilayah konservasi, kewenangan Direktorat Konservasi dan Perlindungan Alam Kementerian Kehutanan tentu jadi tumpul. Maka, perlindungan satwa di luar daerah konservasi pun harus menjadi perhatian sektor bisnis, para pelaku usaha di kawasan hutan tersebut.

Kini, yang menjadi masalah, kenapa sektor bisnis harus peduli pada perlindungan lingkungan atau perlindungan satwa?

Bekas Senator dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William S Cohen dalam pidato pembukaan forum tersebut memberi alasan kuat atas pertanyaan tersebut. "Perusahaan perlu makin sensitif dalam memperluas usahanya, karena konsumen kini sudah makin mudah mendapat informasi atas praktik-praktik bisnis. Dan publik ini bisa menentukan dengan isi dompet mereka," kata Cohen.

Selain itu, globalisasi juga menciptakan sebuah situasi di mana sektor publik, privat, dan lembaga swadaya masyarakat tak bisa berjalan sendiri-sendiri. Sektor privatlah yang akan menciptakan pekerjaan, memiliki kemampuan teknis dan teknologi, sementara sektor publik memiliki kemampuan untuk mengeluarkan peraturan-peraturan.

Sementara Sekretaris Jenderal ASEAN Surin Pitsuwan juga mengingatkan akan dampak yang akan timbul pada lingkungan dengan makin besarnya kelas menengah di kawasan ini. "Kita lebih banyak mengkonsumsi, menggali lebih dalam ke inti bumi untuk mendapatkan deposit-deposit untuk kesejahteraan manusia. Tapi kesejahteraan apa yang akan kita dapat jika lingkungan di sekitar kita rusak?"

Ia meminta negara-negara ASEAN untuk tidak hanya melihat besarnya pertumbuhan ekonomi, tapi juga kualitas pertumbuhan tersebut. "Perhitungkan juga, apa dampaknya pertumbuhan ekonomi 1 persen itu terhadap lingkungan di negara tersebut."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini