Hampir setiap hari selama lebih dari 25 tahun, tujuh tim peneliti bekerja di seluruh dunia, terus memantau kelahiran, kehidupan, dan kematian ribuan primata.
Apa yang membuat kerabat terdekat manusia – monyet, kera, dan primata lainnya – berbeda dengan hewan lain? Menurut sebuah studi terbaru, satu jawabannya adalah primata kurang rentan terhadap pasang surutnya musim – khususnya curah hujan – yang secara signifikan berpengaruh pada hewan lain. Temuan ini juga bisa membantu menjelaskan keberhasilan evolusi manusia purba, ungkap para ilmuwan.Studi ini muncul secara online dalam American Naturalist edisi 30 November.
“Satwa liar menghadapi dunia yang tak terduga dari tahun ke tahun,” kata pemimpin penulis studi, Bill Morris, seorang ahli biologi di Universitas Duke. “Cuaca bisa sering berubah-ubah, bisa bertahun-tahun berlimpah makanan dan bertahun-tahun kelaparan,” jelasnya.
Untuk mengetahui seberapa baik primata mengatasi ketidakpastian ini dibandingkan dengan hewan lainnya, para peneliti yang bekerja pada National Evolutionary Synthesis Center (NESCent) di Durham, NC, menganalisis beberapa dekade data kelahiran dan kelangsungan hidup pada tujuh spesies primata liar: monyet muriqui dan monyet capuchin di Amerika Tengah dan Selatan, babon kuning, monyet biru, simpanse dan gorila di Afrika, serta sifakas (lemur) di Madagaskar.
Pengumpulan data ini bukanlah usaha kecil-kecilan. Hampir setiap hari selama lebih dari 25 tahun, tujuh tim peneliti bekerja di seluruh dunia dengan terus memantau kelahiran, kehidupan, dan kematian ribuan primata individu.
Berkat basis data baru yang dikembangkan di NESCent, para ilmuwan mampu mengelompokkan data yang sudah susah payah mereka kumpulkan dan mencari kesamaan pada seluruh spesies.
Saat mereka membandingkan fluktuasi tahun ke tahun dalam kelangsungan hidup primata terhadap data yang sama pada hewan lain – yaitu, dua lusin spesies burung, reptil, dan mamalia – mereka menemukan bahwa kelangsungan hidup primata tetap lebih stabil meskipun musiman pada curah hujan sangat bervariasi.
“Primata tampaknya bertahan dengan baik terhadap fluktuasi cuaca dan ketersediaan makanan yang relatif pada banyak hewan lainnya,” kata rekan penulis, Susan Alberts, seorang ahli biologi di Universitas Duke dan direktur di NESCent.
Sejumlah sifat-sifat ini dapat membantu melindungi primata dari pasang surutnya musim. “Untuk satu hal, mereka bersifat sosial,” kata rekan penulis, Strier Karen, seorang antropolog di Universitas Wisconsin-Madison. Primata hidup dalam kelompok dan berbagi informasi dengan satu sama lain, jadi mereka lebih mampu untuk menemukan makanan dan air di saat terjadi kelangkaan.
Primata juga mampu mengadaptasi pola makan secara luas dan fleksibel, yang memungkinkan mereka menyesuaikan diri pada musim kekurangan makanan favorit mereka. “Primata akan makan daun, rumput, buah-buahan, bunga, kulit kayu, dan biji-bijian. Mereka adalah generalis,” kata Alberts.
Di masa lalu, sifat serupa mungkin juga dimiliki primata lain – yaitu, manusia – terhadap surut dan arus lingkungan, kata para ilmuwan.
“Manusia modern memiliki semua sifat yang sama dengan yang dimiliki spesies primata: kita pintar, kita memiliki jaringan sosial, dan kita memiliki pola makan yang luas,” kata Morris. “Manusia modern juga eksis selama periode ketika iklim Afrika berubah. Jadi, sifat-sifat sama yang memungkinkan primata non-manusia menangani lingkungan tak terduga saat ini mungkin juga telah memberi kontribusi pada keberhasilan manusia purba.”
Jika primata unggul dalam mengatasi turun naiknya lingkungan, lalu mengapa begitu banyak dari mereka yang kini terancam punah? Meskipun terlindungi dari perubahan cuaca, kegiatan manusia tetap membuat mereka menjadi korban, kata para ilmuwan. Dengan hampir setengah dari primata di dunia saat ini dalam bahaya ke arah kepunahan karena perburuan dan kehilangan habitat, pemantauan lebih lanjut akan menjadi kunci, tambah Strier.
“Segala sesuatu yang dapat kami pelajari tentang mereka saat ini akan membantu mencegah kepunahan mereka di masa depan.”
Sumber artikel: Primates are more resilient than other animals to environmental ups and downs (eurekalert.org)
Kredit: National Evolutionary Synthesis Center (NESCent)
Informasi lebih lanjut:
William F. Morris, Jeanne Altmann, Diane K. Brockman, Marina Cords, Linda M. Fedigan, Anne E. Pusey, Tara S. Stoinski, Anne M. Bronikowski, Susan C. Alberts, Karen B. Strier. Low Demographic Variability in Wild Primate Populations: Fitness Impacts of Variation, Covariation, and Serial Correlation in Vital Rates. The American Naturalist, 2010; DOI: 10.1086/657443
dikutip dari faktailmiah.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
AkarManis
Alpukat
Alzheimer
AMDAL
Antiseptik
Apium graveolens
Asma
Axonopus compressus
Bawang
Benjamin Balansa
Buah
Chelodina
Chelodina mccordi
Cinchona pubescens
Cinchona succirubra
covid
Daun Ketumbar
Deforestasi
Depresi
Desinfektan
EcengPadi
endemik
fauna
flora
Galegeeska revoilii
giant redwood
giant sequoia
GinkoBiloba
Grindelia
Hernia
informasi dunia
informasi hiburan
informasi kehutanan
Informasi Kesehatan
informasi lingkungan
jambu
Jambu Biji
Jejaring Sosial
Jeruk Nipis
Kafein
Kanker Hati
Kayu
Kayu lapis
kehutanan
Kentang
Kepunahan
kera
Kerontokan Rambut
Ketela
Kina
Kompas
Kopi Hitam
Kunyit
Kura-kura
Laboratorium
Lidah Buaya
Limbah
Matematika
Minyak Kemiri
Minyak Rosemary
Monochoria vaginalis
monyet
NAR
Neem
padang rumput
Papan
Papan Partikel
Pezoporus occidentalis
phenylindanes
Phoboscincus bocourti
Plantae
Plywood
Primata
Psidium guajava
Pterodroma cahow
Pulau Rote
Rambut
reptil
Rumput
Rumput Belang
Seledri
Sequoia gigantea
Sequoia wellingtonia
Silva
Singkong
Solenodon cubanus
Spermatophyta
Stres
SUUNTO
teknologi
Tips
topikepalacina
Tradescantia zebrina
Umbi
Yogurt
ZEBRINA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini