Produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan akan memerlukan evaluasi
ulang terhadap pemberian kontrak sewa lahan perkebunan kelapa sawit
yang berlokasi di atas lahan hutan.
Pengembangan produksi kelapa sawit di pulau Kalimantan telah
mengakibatkan kerusakan hutan dan pelepasan emisi karbon dioksida secara
besar-besaran, demikian hasil studi di bawah pimpinan para peneliti
dari Universitas Stanford dan Universitas Yale.
Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change ini
menunjukkan bahwa pengundulan hutan untuk pengembangan kelapa sawit di
Kalimantan, Indonesia, menjadi sumber emisi karbon dioksida global yang
signifikan.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit diperkirakan
akan menyumbang lebih dari 558 juta metrik ton karbon dioksida ke
atmosfir di tahun 2020 — jumlah yang lebih besar dari keseluruhan emisi bahan bakar fosil di Kanada belakangan ini.
Indonesia
merupakan penghasil utama minyak kelapa sawit, yang secara bersamaan
menempati 30 persen penggunaan minyak nabati di seluruh dunia, dan yang
juga bisa digunakan untuk biodiesel. Sebagian besar pengembangan
perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikerjakan di pulau Kalimantan,
yang luas areanya hampir menyamai luas penggabungan Kalifornia dan
Florida di Amerika Serikat.
Di tahun 2010 sendiri, pembukaan lahan
untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sudah melepas lebih dari
140 juta metrik ton karbon dioksida — jumlah yang setara dengan emisi
tahuan dari 28 juta unit mobil.
Sebagai rumah bagi hutan tropis
terbesar ketiga di dunia, Indonesia juga merupakan salah satu negara
terbesar di dunia yang menyumbang gas rumah kaca akibat dari hilangnya
hutan-hutan kaya karbon dan lahan gambut. Sejak tahun 1990, pengembangan
perkebunan kelapa sawit telah membabat hutan seluas 16.000 kilometer
persegi di Kalimantan — kira-kira sama luasnya dengan Hawaii. Hal ini
mengakibatkan hilangnya 60 persen dari total hutan di Kalimantan pada
waktu itu, catat para penulis studi.
“Meskipun masih berlangsung
perdebatan dalam hal penjadwalan jenis dan penggunaan lahan untuk
perkebunan kelapa sawit, sektor ini justru berkembang pesat selama 20
tahun terakhir,” kata pemimpin proyek Lisa M. Curran, seorang profesor
antropologi ekologi di Stanford dan rekan senior di Institut Lingkungan
Stanford Woods. Dengan menggabungkan pengukuran lapangan dengan analisis
citra satelit beresolusi tinggi, studi ini mengevaluasi lahan-lahan
yang ditargetkan untuk menjadi perkebunan serta mendokumentasikan emisi
karbonnya ketika dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Para
peneliti studi membuat peta komprehensif pertama dari ekspansi
perkebunan kelapa sawit yang berlangsung dari tahun 1990 hingga 2010.
Dengan menggunakan teknologi klasifikasi mutakhir, yang dikembangkan
oleh rekan penulis studi Gregory Asner dari Departemen Ekologi Global
Institut Carnegie, para peneliti menghitung jenis-jenis lahan yang
dibuka untuk perkebunan kelapa sawit, sekaligus emisi karbon dan
penyerapan dari perkebunan kelapa sawit.
“Sebuah terobosan besar
terjadi saat kami mampu membedakan bukan hanya lahan hutan dan
non-hutan, tetapi juga hutan yang ditebangi, beserta mosaik berbagai
ladang, pohon karet, kebun buah-buahan dan hutan sekunder dewasa yang
digunakan petani kecil untuk mata pencaharian mereka,” kata Kimberly
Carlson, seorang mahasiswa doktor Yale dan penulis utama dalam studi
ini. “Dengan informasi ini, kami mampu mengembangkan pembukuan karbon
yang kuat dalam rangka mengukur emisi karbon dari pengembangan kelapa
sawit.”
Tim peneliti mengumpulkan catatan-catatan kontrak sewa
lahan kelapa sawit selama wawancara dengan lembaga-lembaga pemerintah
lokal dan regional. Catatan-catatan ini mengidentifikasi lokasi yang
telah menerima persetujuan dan dialokasikan kepada perusahaan kelapa
sawit. Total kontrak sewa yang sudah dialokasikan membentang sekitar
120.000 kilometer persegi, luas yang sedikit lebih kecil dari Yunani.
Sebagian besar kontrak sewa lahan dalam studi ini menempati lebih dari
100 kilometer persegi, luas yang sedikit lebih besar dari Manhattan.
Dengan
menggunakan kontak sewa ini, yang dikombinasi dengan peta-peta
lahannya, tim riset mengestimasi pembukaan lahan di masa depan dan emisi
karbon dari perkebunan. Delapan puluh persen kontrak sewa lahan tetap
tidak ditanami di tahun 2010. Jika lahan-lahan kontak ini dikembangkan,
maka lebih dari sepertiga dataran rendah di Kalimantan akan ditanami
kelapa sawit di tahun 2020.
Meskipun ini merupakan jumlah yang
sangat besar, informasi yang akurat tentang kontrak sewa lahan ini tidak
tersedia bagi masyarakat, bahkan di saat kontrak sewa sudah dihibahkan.
Rata-rata warga di Kalimatan kurang peduli pada pengembangan perkebunan
lokal kelapa sawit, yang bisa menimbulkan dampak dramatis bagi
kehidupan warga serta lingkungan, kata Curran.
“Kontrak sewa lahan
perkebunan ini merupakan sebuah ‘eksperimen berskala besar’ yang belum
pernah dilakukan sebelumnya terhadap konversi hutan dengan monokultur
kelapa eksotis,” kata Curran. “Kita mungkin melihat titik kritis dalam
konversi hutan di mana fungsi-fungsi biofisik yang penting telah
terganggu, meninggalkan kawasan yang semakin rentan terhadap kekeringan,
kebakaran dan banjir.”
Digabung dengan hasil sebelumnya dari studi tingkat kabupaten yang lebih rinci, yang dipublikasikan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti menekankan bahwa produksi minyak kelapa sawit yang berkelanjutan – suatu tujuan nasional dari industri minyak sawit
Indonesia — akan memerlukan evaluasi ulang terhadap pemberian kontrak
sewa lahan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi
di atas lahan hutan.
Studi bertajuk “Carbon Emissions from Forest Conversion by Kalimantan
Oil Palm Plantations” ini didukung oleh NASA Land Cover/Land-Use Change
Program, John D. dan Yayasan Catherine T. MacArthur, Institut Santa Fe
dan National Science Foundation.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bila teman suka dengan tulisan di atas
saya berharap teman-teman menuliskan komentarnya
tapi tolong komentar yang sopannya
mari kita jaga sopan santun di dunia maya ini